Koreksilah Diri Kita Terlebih Dahului Sebelum Menyalahkan Orang Lain .

Jika anda sholat berjam'ah lantas tidak bisa khusyu' maka jangan salahkan imam, dengan alasan suara sang imam buruk...,
Jika anda berkaca lantas tanpak wajah anda yang kurang rupawan maka jangan salahkan cermin...
jika anda memiliki rambut yang kurang berkilau maka jangan salahkan sampo yang anda pakai...
jika anda belajar lantas kurang paham apa yang disampaikan guru maka janganlah salahkan sang guru....
jika ... , jika....

Belajarlah menyalahkan dan mengoreksi diri sendiri terlebih dahulu sebelum menyalahkan orang lain. Para salaf menasehati agar kita tatkala melihat orang lain berusahalah untuk melihat kebaikan-kebaikan mereka, adapun tatkala melihat diri kita sendiri maka hendaklah kita berusaha melihat kekurangan-kekurangan kita agar kita tidak tertimpa penyakit ujub, dan mengakui serta menghargai kelebihan orang lain, serta berusaha mencari udzur untuk kesalahan orang lain.

Sumber http://firanda.com

Free Template Blogger collection template Hot Deals BERITA_wongANteng SEO theproperty-developer

Penyejuk Hati Rumah Masa Depan

النفس تبكي على الدنيا وقد علمت...أن السلامة فيها ترك ما فيها

(Sungguh aneh) jika jiwa menangis karena perkara dunia (yang terluput) padahal jiwa tersebut mengetahui bahwa keselamatan adalah dengan meninggalkan dunia

لا دار للمرء بعد الموت يسكنها...إلا التي كان قبل الموت يبنيها

Tidak ada rumah bagi seseorang untuk ditempati setelah kematian, kecuali rumah yang ia bangun sebelum matinya

فإن بناها بخير طاب مسكنه...وإن بناها بشر خاب بانيها

Jika ia membangun rumahnya (tatkala masih hidup) dengan amalan kebaikan maka rumah yang akan ditempatinya setelah matipun akan baik pula

أموالنا لذوي الميراث نجمعها...ودورنا لخراب الدهر نبنيها

Harta kita yang kita kumpulkan adalah milik ahli waris kita, dan rumah-rumah (batu) yang kita bangun akan rusak dimakan waktu

كم من مدائن في الآفاق قد بنيت...أمست خرابا وأفنى الموت أهليها

Betapa banyak kota (megah) dipenjuru dunia telah dibangun, namun akhirnya rusak dan runtuh, dan kematian telah menyirnakan para penghuninya

أين الملوك التي كانت مسلطنة...حتى سقاها بكأس الموت ساقيها

Dimanakah para raja dan pimpinan yang dahulu berkuasa? Agar mereka bisa meneguk cangkir kematian

لا تركنن إلى الدنيا فالموت...لا شك يفنينا ويفنيها

Janganlah engkau condong kepada dunia, karena tidak diragukan lagi bahwa kematian pasti akan membuat dunia sirna dan mebuat kitapun fana

واعمل لدار غدا رضوان خازنها...والجار أحمد والرحمن بانيها

Hendaknya engkau beramal untuk rumah masa depan yang isinya adalah keridoan Allah, dan tetanggamu adalah Nabi Muhammad serta yang membangunnya adalah Ar-Rohman (Allah yang maha penyayang)

قصورها ذهب والمسك طينتها...والزعفران حشيش نابت فيها

Bangunannya terbuat dari emas, dan tanahnya menghembuskan harumnya misik serta za'faron adalah rerumputan yang tumbuh di tanah tersebut

أنهارها لبن مصفى ومن عسل...والخمر يجري رحيقا في مجاريها

Sungai-sungainya adalah air susu yang murni jernih, madu dan khomr, yang mengalir dengan bau yang semerbak

والطير تشدو على الأغصان عاكفة...تسبح الله جهرا فى مغانيها

Burung-burung berkicau di atas ranting dan dahan di atas pohon-pohon yang ada di surga
Mereka bertasbih memuji Allah dalam kicauan mereka

فمن يشتري الدار في الفردوس يعمرها...بركعة في ظلام الليل يحييها

Siapa yang hendak membangun surga firdaus maka hendaknya ia memenuhinya dengan sholat di dalam kegelapan malam

Sumber : http:firanda.com


Free Template Blogger collection template Hot Deals BERITA_wongANteng SEO theproperty-developer

Bolehkah Jilbab Berwarna Kuning Atau Yang Lainnya?

Pertanyaan :

Assalaamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh

Ustadz, ada beberapa hal yang ingin ana tanyakan sehubungan dengan busana muslimah :

1.     Bolehkah wanita memakai busana muslimah berwarna selain hitam (tetapi cenderung ke warna gelap,mis : biru tua, coklat, ungu tua )?

2.     Bolehkah wanita memakai busana muslimah yang bermotif,bercorak batik /bordir/renda/payet?

Mohon penjelasan dari Ustadz berkaitan dengan masalah tersebut, Jazakumullahu khoiron



Jawab :

Syaikh Muhammad Ali Farkuus yang berasal dari Algeria pernah ditanya dengan suatu pertanyaan yang ada hubungannya dengan pertanyaan di atas. Maka saya akan menukilkan pertanyaan dan jawaban beliau –hafidzohulloh-.

Pertanyaannya :

Sebagian wanita memakai khimar (tutup kepala/jilbab bagian atas-pent) yang warnanya berbeda dengan warna 'abaa'ah (jilbab bagian bawah-pent), terkadang hal ini menarik perhatian. Apakah boleh memakai jilbab yang warnanya berbeda antara jilbab atasan dan bawahannya? Warna-warna khimar apakah yang manakah yang mungkin dikatakan warna yang disyari'atkan?, semoga Allah membalas kebaikan bagi anda.

Jawaban beliau –hafidzohulloh- :

Segala puji bagi Allah Robbul 'aalamiin, sholawat dan salam kepada Nabi yang diutus oleh Allah sebagai rahmat bagi semesta alam, dan juga bagi keluarganya dan para sahabatnya hingga hari kiamat.

Yang wajib dalam permasalahan khimar adalah :

Pertama : khimar (atasan jilbab) tersebut hendaknya dijulurkan dari atas kepalanya dan dilipat di lehernya, juga menjulurkannya di atas dadanya, sehingga ia menjulurkan jilbabnya dengan menutup kepalanya dan menutup lehernya, kedua telinganya, dadanya dan yang semisalnya, karena Allah berfirman :
وَلْيَضْرِبْنَ بِخُمُرِهِنَّ عَلَى جُيُوبِهِنَّ
"Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung kedadanya" (QS An-Nuur : 31)
...


Kedua : Sebagaimana telah diketahui bahwasanya para wanita dan para lelaki sama dalam permasalahan hukum selama tidak ada dalil yang membedakan antara para wanita dan para lelaki dalam hukum. Demikian juga bahwasanya hukum asal dalam warna-warna pakaian adalah halal dan diperbolehkan, kecuali jika ada dalil yang melarang warna-warna tersebut bagi kaum lelaki dan kaum wanita atau ada dalil yang melarang warna-warna tersebut untuk kaum lelaki atau dalil yang melarang warna-warna tersebut untuk kaum wanita.

Mengenai warna-warna (yang diperbolehkan untuk jilbab para wanita) adalah sebagai berikut :

Adapun warna hitam untuk (jilbab) para wanita maka telah datang dalam hadits Ummu Salamah –radhiallahu 'anhaa- ia berkata

:« لَمَّا نَزَلَتْ ?يُدَنِينَ عَلَيْهِنَّ مِنْ جَلاَبِيبِهِنَّ? خَرَجَ نِسَاءُ الأنْصَارِ كَأَنَّ عَلَى رُؤوسِهِنَّ الْغِرْبَانَ مِنَ الأكْسِيَةِ »

Tatkala turun firman Allah  (Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka) maka keluarlah para wanita dari kaum Anshoor, seakan-akan di atas kepala-kepala mereka ada pakaian seperti burung-burung gagak" (HR Abu Dawud no 4101 dan disahihkan oleh Syaikh Al-Albani dalam Jilbab Al-Mar'ah Al-Muslimah hal 82)

Ummu Salamah menyamakan kain khimar yang ada di atas kepala-kepala para wanita yang dijadikan jilbab dengan burung-burung gagak dari sisi warna hitamnya.

Dalil lain yang menunjukan akan bolehnya warna hitam bagi para wanita adalah hadits Ummu Kholid, ia berkata

« أُتي النبيُّ بثيابٍ فيها خَميصةُ سوداءُ صغيرةٌ فقال:« مَن تَرَون أن نكسوَ هذهِ »؟ فسكتَ القومُ. قال:« ائتُوني بأمِّ خالدٍ »، فأتيَ بها تُحمل، فأخذ الخميصةَ بيدهِ فألبَسَها وقال: أبْلِي وأخلِقي. وكان فيها عَلمٌ أخضرُ أو أصفر »

Nabi diberikan baju-baju, diantaranya ada khomiisoh kecil yang berwarna hitam. Maka nabipun berkata, "Menurut kalian kepada siapakah kita berikan kain ini?". Orang-orang pada diam, lalu Nabi berkata, "Datangkanlah kepadaku Ummu Kholid !", maka didatangkanlah Ummu Kholid dalam keadaan diangkat (karena masih kanak-kanak, lihat Umdatul Qoori 31/473-pent), lalu Nabipun mengambil kain tersebut dengan tangannya lalu memakaikannya kepada Ummu Kholid dan berkata, "Bajumu sudah usang, gantilah bajumu". Pada kain tersebut ada garis-garis (corak) berwarna hijau atau kuning. (HR Al-Bukhari no 5485, Abu Dawud no 4024, dan Ahmad no 26517)

Adapun warna hijau untuk pakaian para wanita maka telah absah dalam hadits yang diriwayatkan oleh Imam Al-Bukhari bahwasanya Rifa'ah menceraikan istrinya maka istrinyapun dinikahi oleh Abdurrahman bin Az-Zubair Al-Qurozhi. Aisyah radhiallahu 'anhaa berkata, وعليها خِمارٌ أخضر، فشكَتْ إليها، وأرَتها خُضرةً بجلدها..  "Ia memakai khimar berwarna hijau, maka iapun mengadu kepada Aisyah dan memperlihatkan kepada Aisyah adanya warna kehijau-hijauan di kulitnya…." (HR Al-Bukhari no 5487)

Adapun pakaian berwarna merah maka hanya boleh untuk kaum wanita dan tidak boleh bagi kaum lelaki. Dalilnya sebagaimana hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dari Abdullah bin 'Amr radhiallahu 'anhu, ia berkata :

رَأَى النَّبِيُّ عَلَيَّ ثَوْبَيْنِ مُعَصْفَرَيْنِ. فَقَالَ:« أَأُمُّكَ أَمَرَتْكَ بِهَذَا؟ » قُلْتُ: أَغْسِلُهُمَا، قَالَ:« بَلْ احْرِقْهُمَا

Nabi shallahu 'alaihi wa sallam melihatku memakai dua belah baju yang mu'ashfar. Maka Nabi berkata, "Apakah ibumu memerintahmu untuk memakai baju ini?". Aku berkata, "Aku cuci kedua baju ini?", Nabi berkata, "Bahkan bakarlah kedua baju itu" (HR Muslim no 5436)

Dan yang dimaksud dengan dua buah baju mu'ashfar adalah dua baju yang dicelup dengan celupan berwarna merah (atau dicelup dengan warna kuning yang terbuat dari tumbuhan tertentu-pent). Imam An-Nawawi berkata tentang sabda Nabi "Apakah ibumu memerintahmu untuk memakai baju ini?" : Maknanya adalah ini termasuk pakaian para wanita, model, dan akhlak mereka" (Syarh Shahih Muslim 14/55), beliau juga berkata : "Adapun perintah Nabi untuk membakar baju tersebut maka –dikatakan- karena sebagai hukuman dan sikap keras terhadapnya dan terhadap orang lain agar meninggalkan perbuatan seperti ini. Hal ini semisal dengan perintah Nabi kepada wanita yang telah melaknat ontanya agar sang wanita melepaskan onta tersebut…"
Dalil yang lain yang menunjukan akan hal ini adalah hadits 'Amr bin Syu'aib dari ayahnya dari kakeknya berkata,
هَبَطْنَا مَعَ رَسُولِ الله صلى الله عليه وآله وسَلَّم مِنْ ثَنِيَّةٍ فالْتَفَتَ إلَيَّ وَعَليَّ رَيْطَةٌ مُضَرَّجَةٌ بالْعُصْفُرِ فقال: مَا هذِهِ الرَّيْطَةُ عَلَيْكَ؟ فَعَرَفْتُ مَا كَرِهَ، فأَتَيْتُ أهْلِي وَهُمْ يَسْجُرُون تَنُّورًا لَهُمْ فَقَذَفْتُهَا فِيهِ ثُمَّ أتَيْتُهُ مِنَ الْغَدِ، فقال: يَا عَبْدَ اللهِ مَا فَعَلْتَ الرَّيْطَةَ، فأَخْبَرْتُهُ، فقال: ألاَ كَسَوْتَهَا بَعْضَ أهْلِكَ فإنَّهُ لاَ بَأْس بِهِ لِلنِّسَاءِ »

“Kami turun bersama Rasulullah shallallahu 'alaih wa sallam dari Tsaniyyah. Kemudian beliau menoleh kepadaku dengan keadaan memakai pakaian lembut yang dicelup dengan ushfur. Maka beliau bertanya: “Apa ini yang engkau pakai?” Maka akupun mengetahui Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam tidak menyukainya. Akupun mendatangi keluargaku dalam keadaan mereka menyalakan api tanur dan aku lemparkan baju itu ke dalamnya. Kemudian aku mendatangi beliau pada besok harinya. Beliau bertanya: “Bagaimana nasib bajumu?” Maka aku ceritakan apa yang aku lakukan pada baju itu. Maka beliau berkata: “Kenapa engkau tidak memakaikan baju itu pada sebagian keluargamu. Karena baju tersebut tidak apa-apa jika dipakai wanita.” (HR. Abu Dawud: 4066, Ibnu Majah: 3603, Ahmad: 6813 dan di-hasan-kan oleh Al-Albani dalam Shahih Sunan Abi Dawud: 4066).
Adapun pakaian berwarna putih maka telah diketahui bersama sabda Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam

الْبِسُوا مِنْ ثِيَابِكُمُ الْبَيَاضَ فإنَّهَا مِنْ خَيْرِ ثِيَابِكمْ، وَكَفِّنُوا فِيهَا مَوْتَاكُم

"Pakailah pakaian-pakaian kalian yang berwarna putih, sesungguhnya itu merupakan pakaian kalian yang terbaik, dan hendaknya kalian mengkafani mayat-mayat kalian dengan kain putih" (HR Abu Dawud no 3878, At-Thirmidzi no 944, Ibnu Majah no 1472, Ahmad no 3332, dan hadits ini dishahihkan oleh Ibnul Mulaqqin dalam al-Badr al-Muniir 4/671, Ahmad Syakir dalam tahqiq Musnad Ahmad 5/143, dan Al-Albani dalam Jilbab al-Mar'ah al-Muslimah hal 82)

Demikian juga warna kuning (diperbolehkan) bagi kaum lelaki. Telah abasah dari Ibnu Umar radhiallahu 'anhumaa ia berkata
وَأَمَّا الصُّفْرَةُ فَإِنِّي رَأَيْتُ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ يَصْبِغُ بِهَا فَأَنَا أُحِبُّ أَنْ أَصْبغَ ِبهَا

Adapun warna kuning maka aku telah melihat Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam menyelupkan pakaian ke warna kuning, maka aku suka untuk mencelupkan pakaian dengan warna kuning" (HR Al-Bukhari no 164, Abu Dawud no 1772, Ahmad no 5316). Dan dalam sunan Abu Dawud dari Ibnu Umar beliau berkata وَقَدْ كَانَ يَصْبِغُ بِهَا ثِيَابَهُ كُلَّهَا حَتَّى عِمَامَتَهُ "Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam mencelupkan seluruh pakaiannya ke warna kuning, bahkan sorban beliau juga" (HR Abu Dawud no 4064)
Hadits-hadits diatas menunjukan akan bolehnya memakai pakaian berwarna hitam, hijau, dan merah bagi para wanita dengan nash dari Nabi, dan ini juga berlaku bagi kaum lelaki berdasarkan hukum asal yang telah lalu penjelasannya, kecuali warna merah yang khusus bagi para wanita. Adapun warna putih dan kuning maka boleh juga bagi wanita dengan dasar hukum asal yang telah lalu penjelasannya tentang bolehnya menggunakan seluruh warna karena tidak ada dalil yang melarangnya atau mengkhususkannya.

Dan perlu untuk diingatkan bahwasanya warna-warna yang menggoda (menarik perhatian) atau yang menyala (mengkilat) yang dipakai oleh para wanita pemuja nafsu, pengucap kata-kata kotor dan hina, maka warna-warna tersebut menjadi terlarang dari sisi larangan bertasyabbuh dan juga bisa membangkitkan gejolak syahwat. Demikian juga halnya dengan warna-warna pakaian yang khususnya dipakai oleh sebagian jama'ah-jama'ah keagamaan, maka dilarang sengaja mengikuti model dan warna yang merupakan ciri-ciri jama'ah-jama'ah tersebut, karena kawatir akan timbulnya bid'ah dalam agama. Sebagaimana pula dilarang bermodel (bergaya) dengan warna bendera negara tertentu atau group atau perkumpulan tertentu –terutama yang berasal dari negara kafir- karena hal ini akan mengantarkan kepada syirik mahabbah dan ta'dziim, serta penerapan al-walaa wa al-baroo yang bukan pada tempatnya.

(Diterjemahkan dengan bebas dan sedikit perubahan oleh Firanda Andirja dari fatwa Syaikh Muhammad Ali Farkuus Al-Jazaairi no 992)


Syaikh Al-'Utsaimin rahimahullah pernah ditanya :

Apakah boleh seorang wanita menggunakan jilbab selain warna hitam?

Beliau –rahimahullah- menjawab :

"Seakan-akan penanya berkata : Apakah boleh seorang wanita memakai khimar (penutup jilbab bagian atas kepala?) selain berwarna hitam?. Maka jawabannya adalah : Iya, boleh bagi sang wanita untuk memakai khimar yang selain berwarna hitam dengan syarat khimar tersebut tidak seperti gutrohnya lelaki (gutroh adalah kain penutup kepala yang sering digunakan oleh penduduk Arab Saudi-pent). Kalau khimar tersebut seperti gutrohnya lelaki maka hukumnya haram karena Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam melaknat para lelaki yang meniru-niru kaum wanita dan melaknat para wanita yang menyerupai kaum lelaki. Adapun jika khimarnya berwarna putih akan tetapi wanita tersebut tidak memakainya sebagaimana cara pakai lelaki maka jika penggunaan khimar berwarna putih tersbut merupakan adat penduduk negerinya maka tidak mengapa untuk dipakai. Adapun jika pemakaian khimar putih tidak biasa menurut adat mereka maka tidak boleh dipakai karena hal itu merupakan pakaian syuhroh (ketenaran/tampil beda) yang terlarang" (Fatwa Nuur "alaa Ad-Darb)

Kota Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, 03 Dzul Qo'dah 1431 H / 11 Oktober 2010 M

Abu Abdil Muhsin Firanda Andirja

Artikel: www.firanda.com


Free Template Blogger collection template Hot Deals BERITA_wongANteng SEO theproperty-developer

Rahasia dibalik Kata Al-Hayaa’ (Malu) Dalam Bahasa Arab

Pembaca mulia, kata “malu” dalam bahasa Arab adalah اَلْحَيَاءُ /al-hayaa’/. Kata ini, merupakan derivat dari kata اَلْحَيَاةُ /al-hayaah/, yang artinya adalah “kehidupan”. Selain اَلْحَيَاءُ, contoh derivat lain kata اَلْحَيَاةُ adalah حَيَا /hayaa/, yang artinya hujan”. Apa kaitan antara hujan dan kehidupan? Kaitannya adalah bahwa hujan merupakan sumber kehidupan bagi bumi, tanaman, dan hewan ternak.
Dalam bahasa Arab, al-hayaah “kehidupan” mencakup kehidupan dunia dan akhirat.
Lalu, kembali ke pokok bahasan utama, apa kaitan al-hayaa’ “malu” dengan al-hayaah “kehidupan”?
Jawabannya adalah karena orang yang tidak memiliki rasa malu, ia seperti mayat di dunia ini, dan ia benar-benar akan celaka di akhirat.
Orang yang tidak memiliki rasa malu, tidak merasa risih ketika bermaksiat.
Ketika ia mempertontonkan lekuk-lekuk tubuhnya dan memamerkan auratnya, ia tidak merasa bahwa itu adalah perbuatan yang menjijikkan….
Ketika ia berdua-duaan dengan lawan jenis yang bukan mahramnya di tengah keramaian, ia tidak peduli dengan tatapan heran manusia…
Ketika ia melanggar setiap larangan Allah, ia anggap sebagai rutinitas, seolah-olah dia tidak merasa bahwa dirinya hina…
Benar, ia seperti mayat. Ya! apapun yang terjadi di sekitar mayat, tiada kan dapat mendatangkan manfaat baginya…
Maka, benarlah perkataan Ibnul Qayyim
وَمِنْ عُقُوْبَاتِهَا ذِهَابُ الْحَيَاءِ الَّذِي هُوَ مَادَةُ الْحَياَة ِللْقَلْبِ وَهُوَ أَصْلُ كُلِّ خَيْرٍ وَذِهَابُ كُلِّ خَيْرٍ بِأَجْمَعِهِ
Di antara dampak maksiat adalah menghilangkan MALU yang merupakan SUMBER KEHIDUPAN hati dan inti dari segala kebaikan. Hilangnya rasa malu, berarti hilangnya seluruh kebaikan.
(اَلْجَوَابُ الْكَافِي لِمَنْ سَأَلَ عَنِ الدَّوَاءِ الشَّافِي, hal. 45)
Ini sebagaimana sabda Nabi
اَلْحَيَاءُ خَيْرٌ كُلُّهُ
/Al-hayaa’ khairun kulluhu/
“Rasa malu seluruhnya adalah kebaikan” (Shahih Muslim: 87)
Oleh karena itu, seseorang yang bermaksiat dan terus menerus melakukannya, dikatakan sebagai orang yang tidak tahu malu. Nabi bersabda
“Sesungguhnya termasuk yang pertama diketahui manusia dari ucapan kenabian adalah jika kamu tidak malu, berbuatlah sesukamu!”
(Shahih Bukhari: 5769)
Dalam menjelaskan maksud hadits di atas, Ibnul Qayyim berkata,
وَاْلَمَقْصُوْدُ أَنَّ الذُّنُوْبَ تُضْعِفُ الْحَيَاءَ مِنَ الْعَبْدِ حَتَّى رُبَّمَا اِنْسَلَخَ مِنْهُ بِالْكَلِّيَّةِ حَتَّى رُبَّمَا إِنَّهُ لاَ يَتَأَثَّرُ بِعِلْمِ النَّاسِ بِسُوْءِ حَالِهِ وَلاَ بِاطِّلاَعِهِمْ عَلَيْهِ بَلْ كَثِيْرٌ مِنْهُمْ يُخْبِرُ عَنْ حَالِهِ وَقَبْحِ مَا يَفْعَلُهُ وَالْحَامِلُ عَلَى ذَلِكَ اِنْسِلاَخُهُ مِنَ الْحَيَاءِ وَإِذَا وَصَلَ الْعَبْدُ إِلَى هَذِهِ الحَالَةِ لَمْ يَبْقَ فِي صَلاَحِهِ مَطْمَعٌ
Maksudnya, dosa-dosa akan melemahkan rasa malu seorang hamba, bahkan bisa menghilangkannya secara keseluruhan. Akibatnya, pelakunya tidak lagi terpengaruh atau merasa risih saat banyak orang mengetahui kondisi dan perilakunya yang buruk. Lebih parah lagi, banyak di antara mereka yang menceritakan keburukannya. Semua ini disebabkan hilangnya rasa malu. Jika seseorang sudah sampai pada kondisi tersebut, tidak dapat diharapkan lagi kebaikannya.
(اَلْجَوَابُ الْكَافِي لِمَنْ سَأَلَ عَنِ الدَّوَاءِ الشَّافِي, hal. 45)
Akhirnya, saya akhiri risalah ini dengan mengutip lagi perkataan Ibnul Qayyim
وَمَنِ اسْتَحْيَ مِنَ اللهِ عِنْدَ مَعْصِيَّتِهِ اِسْتَحَى اللهُ مِنْ عُقُوْبَتِهِ يَوْمَ يَلْقَاهُ وَمَنْ لَمْ يَسْتَحِ مِنَ اللهِ تَعَالَى مِنْ مَعْصِيَّتِهِ لَمْ يَسْتَحِ اللهُ مِنْ عُقُوْبَتِهِ
Barangsiapa malu terhadap Allah saat mendurhakaiNya, niscaya Allah akan malu menghukumnya pada hari pertemuan dengan-Nya. Demikian pula, barangsiapa tidak malu mendurhakaiNya, niscaya Dia tidak malu untuk menghukumnya.
Referensi:
Sumber: http://studyarabic.blog.ugm.ac.id/ dengan pengharakatan dari tim Badar Online

Free Template Blogger collection template Hot Deals BERITA_wongANteng SEO theproperty-developer

MEMETIK SALAH SATU HIKMAH DARI PERJALANAN SEORANG SYAIKH


Membaca kisah perjalanan Ustadz Firanda bersama Syaikh Abdurrozzaq ( dosen Universitas islam madinah ) dari madinah hingga ke Radio Rodja, banyak sekali manfaat yang bisa diambil dari keteladanan seorang Syaikh, namun kali ini saya ingin menyoroti masalah bagaimana sesorang muslim menjadi seorang penyayang  bagi saudaranya yang lain, yang pada kisah perjalanan tersebut sangatlah jelas bahwa Syaikh Abdurrozzaq seorang yang sangat penyayang, seseorang yang bisa membuat hati setiap yang bertemu dengannya menjadi bahagia, salah satu contoh yang kadang bagi sebagian kita apalagi untuk orang yang sudah punya kedudukan tinggi  sering lupa adalah bersikap ramah terhadap anak-anak kecil dan membuat mereka senang, seperti contohnya  yang diceritakan langsung oleh Ustadz Firanda bahwa syaikh ketika dating ke studio Radio Rodja, menyalami anak-anak kecil dan memborong kue yang dijual dekat area studio untuk dibagikan ke anak-anak,  dan kedua kalinya pun saat syaikh akan mengisi kajian di Radio Rodja, Syaikh menyempatkan membeli cokelat yang banyak untuk dibag-bagi kan keanak-anak.
Sungguh sangatlah jauh akhlak kita dari akhlaknya Syaikh, terkadang kita kepada anak sendiripun kurang sabar dan kadang brsikap cuek terlebih kepada anak-anak yang kita tidak mengenalnya.
Nabi pernah besabda : Bukan dari kami orang-orang yang tidak menghormati orang tua dan tidak menyayangi anak kecil ( HR. Ahmad 11/529 no 6937 dengan sanad yang shahih ).
Ya Allah, jadikanlah aku menjadi orang yang penyayang, sayang kepada keluarga, sayang kepada sesama muslim, sayang kepada yang tua dan muda dan anak-anak, jadikanlah hati ini hati yang lembut, jauhkanlah sikap keras dalam hatiku, dan jadikanlah aku orang yang selalu berbakti kepada orang tua. Amiin


Free Template Blogger collection template Hot Deals BERITA_wongANteng SEO theproperty-developer

Orang Mukmin Tercipta Penuh Coba

Syaikh Ali bin Hasan bin Ali bin Abdulhamid Al-Halaby

Terdapat riwayat yang shahih bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda :
"Artinya : Sesungguhnya seorang mukmin tercipta dalam keadaan Mufattan (penuh cobaan), Tawwab (senang bertaubat), dan Nassaa' (suka lupa), (tetapi) apabila diingatkan ia segera ingat".
(Silsilah Hadits Shahih No. 2276).
Hadist ini merupakan hadits yang menjelaskan sifat-sifat orang mukmin, sifat-sifat yang senantiasa lengket dan menyatu dengan diri mereka, tiada pernah lepas hingga seolah-olah pakaian yang selalu menempel pada tubuh mereka dan tidak pernah terjauhkan dari mereka.
Mufattan
Artinya : Orang yang diuji (diberi cobaan) dan banyak ditimpa fitnah. Maksudnya : (orang mukmin) adalah orang yang waktu demi waktu selalu diuji oleh Allah dengan balaa' (bencana) dan dosa-dosa. (Faid-Qadir 5/491).

Dalam hal ini fitnah (cobaan) itu akan meningkatkan keimanannya, memperkuat keyakinannya dan akan mendorong semangatnya untuk terus menerus berhubungan dengan Allah Subhanahu wa Ta'ala, sebab dengan kelemahan dirinya, ia menjadi tahu betapa Maha Kuat dan Maha Perkasanya Allah, Rabb-nya.
Menurut sebuah riwayat dalam shahih Bukhari dan shahih Muslim, sesungguhnya Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda :
"Artinya : Perumpamaan orang mukmin ibarat sebatang pokok yang lentur diombang-ambing angin, kadang hembusan angin merobohkannya, dan kadang-kadang meluruskannya kembali. Demikianlah keadaannya sampai ajalnya datang. Sedangkan perumpamaan seorang munafik, ibarat sebatang pokok yang kaku, tidak bergeming oleh terpaan apapun hingga (ketika) tumbang, tumbangnya sekaligus".
(Bukhari : Kitab Al-Mardha, Bab I, Hadist No. 5643, Muslim No. 7023, 7024, 7025, 7026, 7027).
Ya, demikianlah sifat seorang mukmin dengan keimanannya yang benar, dengan tauhidnya yang bersih dan dengan sikap iltizam (komitment)nya yang sungguh-sungguh.
Tawaab Nasiyy
"Artinya : Orang yang bertaubat kemudian lupa, kemudian ingat, kemudian bertaubat". (Faid-Al Qadir 5/491).

Seorang mukmin dengan taubatnya, berarti telah mewujudkan makna salah satu sifat Allah Subhanahu wa Ta'ala, yaitu sifat yang terkandung dalam nama-Nya : Al-Ghaffar (Dzat yang Maha Pengampun). Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman :
"Artinya : Dan sesungguhnya Aku Maha Pengampun bagi orang-orang yang bertaubat, beriman dan beramal shalih, kemudian tetap di jalan yang benar". (Thaha : 82).
Apabila Diingatkan, Ia Segera Ingat.
Artinya : Bila diingatkan tentang ketaatan, ia segera bergegas melompat kepadanya, bila diingatkan tentang kemaksiatan, ia segera bertaubat daripadanya, bila diingatkan tentang kebenaran, ia segera melaksanakannya, dan bila diingatkan tentang kesalahan ia segera menjauhi dan meninggalkannya.
Ia tidak sombong, tidak besar kepala, tidak congkak dan tidak tinggi hati, tetapi ia rendah hati kepada saudara-saudaranya, lemah lembut kepada sahabat-sahabatnya dan ramah tamah kepada teman-temannya, sebab ia tahu inilah jalan Ahlul Haq (pengikut kebenaran) dan jalannya kaum mukminin yang shalihin.
Terhadap dirinya sendiri ia berbatin jujur serta berpenampilan luhur, sedangkan terhadap orang lain ia berperasaan lembut dan berahlak mulia, bersuri tauladan kepada insan teladan paling sempurna yaitu Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, yang telah diberi wasiat oleh Rabb-nya dengan firman-Nya :
"Artinya : Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka .....".
(Ali Imran : 159).
Inilah sifat seorang mukmin. Ini pula jalan hidup serta manhaj perilakunya.

Tulisan ini diterjemahkan dari Majalah Al-Ashalah edisi 15, 16 th III -15 Dzul Qa'dah 1415H, dan dimuat di Majalah As-Sunnah edisi 07/th III/1419-1998. 


Free Template Blogger collection template Hot Deals BERITA_wongANteng SEO theproperty-developer

MENTALAK ISTRI SEDANG MABUK ATAU MARAH YANG SANGAT

Oleh
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin


Pertanyaan
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin ditanya : Seseorang telah mentalak istrinya sebanyak tiga kali dalam waktu yang berbeda, talak pertama jatuh pada saat sedang mabuk, benci dan marah yang sangat. Adapun talak yang kedua dan ketiga jatuh sedang dalam keadaan sangat marah. Apakah talak tersebut dianggap jatuh padahal masing-masing masih saling mencintai ? Dan apakah sudah tidak ada kesempatan untuk rujuk lagi ?

Jawaban
Orang tersebut mengatakan bahwa dia telah menjatuhkan talak kepada istrinya sebanyak tiga kali, talak pertama jatuh pada saat sedang mabuk dan marah yang tidak terkendali. Adapun talak kedua dan ketiga jatuh dalam keadaan sangat marah, apakah istri dianggap telah tertalak tiga. Saya balik bertanya : “Apakah dia berniat mentalaknya atau tidak ?”.

Orang yang mentalak istri dalam keadaan mabuk, para ulama berbeda pendapat, sebagian mereka mengatakan bahwa talak orang yang sedang mabuk tidak dianggap jatuh sebab dilakukan dalam keadaan tidak sadar. Dan sebagiannya mengatakan bahwa talaknya dianggap jatuh sebagai sanksi atas kejahatannya.

Menurut saya, pendapat yang kuat adalah talak dalam keadaan mabuk tidak dianggap jatuh sebab orang mabuk tidak sempurna akalnya dan tidak sadar terhadap apa yang diucapkannya. Adapun sanksi tersebut bukan pada tempatnya sebab sanksi orang mabuk adalah didera, jika mengulanginya lagi terus hingga empat kalinya dibunuh, berdasarkan hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

“Artinya : Barangsiapa yang minum khamar, maka deralah, jika minum lagi maka deralah dan jika minum lagi maka deralah dan kemudian jika minum lagi maka bunuhlah”.

Di dalam hadits diatas disebutkan bahwa orang yang mengulangi mabuk ke empat kalinya maka harus dibunuh. Para ulama berbeda pendapat tentang hadits di atas, apakah mansukh (dihapus hukumnya) atau tidak ? Sebagian ulama ada yang menyatakan bahwa hadits tersebut telah mansukh dan sebagian yang lainnya menyatakan tidak mansukh akan tetapi diberi batasan khusus.

Menurut saya, hadits ini tidak mansukh akan tetapi diberi batasan, artinya seseorang tidak bisa berhenti dari minum khamar kecuali dengan dibunuh, maka ia harus dibunuh. Dan apabila bisa berhenti tanpa harus dibunuh, maka tidak perlu harus dikenakan sanksi pemubunuhan. Inilah pendapat yang dipilih oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah. Di antara ulama ada yang berpendapat bahwa pemabuk harus dibunuh secara mutlak, artinya kapan saja seseorang telah didera sebanyak tiga kali akibat minum khamar, dan jika tertangkap yang keempat kalinya, maka mutlaq dibunuh tanpa ada alternatif lain. Pendapat ini, adalah pendapat madzhab Dhahiri seperti Ibnu Hazm dan para penganutnya.

Jumhur ulama berpendapat bahwa hadits tersebut mansukh. Akan tetapi kita tidak dapat mengatakan bahwa suatu hadits mansukh kecuali telah memenuhi dua syarat.

Pertama : Jika kedua dalil tidak mungkin bisa disatukan karena makna keduanya saling berlawanan.

Kedua : Dapat diketahui bahwa dalil nasikh (yang menghapus hukum) datang lebih akhir daripada dalil yang mansukh. Apabila ada kemungkinan dua dalil dapat disatukan, maka harus diambil dua-duanya demi menghindari penolakan dari salah satu dalil tersebut, dan jika tidak mungkin melakukan naskh maka sebaiknya berhenti untuk tidak menggunakan dua dalil tersebut, sebab menerapkan naskh dalam hal ini tidak lebih baik daripada meniadakan keduanya.

Adapun talak kedua yang jatuh pada saat sedang marah memiliki hukum yang berbeda-beda sesuai dengan tingkat kemarahan, sebab marah memiliki tiga tingkatan : biasa, sedang dan puncak kemarahan.
Pertama : Marah biasa yaitu seseorang masih dapat mengendalikan dirinya, akalnya dan ucapannya. Artinya ucapan tersebut masih dianggap sebagai tindakan yang wajar sebagaimana orang yang tidak marah.

Kedua : Marah sedang yang tidak sampai pada puncak kemarahan akan tetapi seseorang tidak kuasa mengendalikan diri sehingga terucap dari mulutnya ucapan talak.

Ketiga : Puncak kemarahan sehingga seseorang sama sekali tidak sadar terhadap sesuatu yang diucapkannya dan tidak tahu sedang berada dimana. Ini mungkin terjadi pada seseorang yang mempunyai perasaan yang sensitif sehingga tatkala marah tidak sadar apa yang diucapkan dan tidak bisa mengendalikan dirinya serta tidak tahu lagi berada dimana sehingga tidak bisa mengenal istri dan orang yang berada di sekitarnya.

Tingkatan marah yang pertama, dianggap seperti orang marah pada umumnya, dan masih terkena beban hukum.

Tingkatan marah yang terakhir seluruh ulama sepakat bahwa orang yang marah sangat yang kehilangan kesadaran dan ingatan, maka ucapannya dianggap seperti ucapan orang gila dan tindakannya dianggap sia-sia karena tidak memiliki keseimbangan lagi.

Adapun tingkatan marah yang kedua yaitu seseorang tahu apa yang diucapkan akan tetapi tidak kuasa menahan diri dan seakan-akan faktor luar yang memaksa untuk mengucapkan kalimat talak, maka para ulama berbeda pendapat dalam masalah ini. Dan pendapat yang benar bahwa talak dalam keadaan seperti itu tidak dianggap jatuh berdasarkan hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

“Artinya : Talak tidak dianggap jatuh karena ighlaq (dipaksa atau marah)..”

Jika talak dianggap tidak jatuh karena dipaksa, begitu pula dalam keadaan marah, sebab orang yang marah seperti itu seakan-akan ada faktor luar yang memaksanya untuk mengucapkan talak akan tetapi paksaan tersebut muncul dari dalam.

[Durus wa Fatawa Haramul Makkiy, Syaikh Utsaimin, juz 3/258-260]

[Disalin dari kitab Al-Fatawa Al-Jami’ah Lil Mar’atil Muslimah, Edisi Indonesia Fatwa-Fatwa Tentang Wanita-2, Penyusun Amin bin Yahya Al-Wazan, Penerjemah Zaenal Abidin Syamsudin Lc, Penerbit Darul Haq]

Free Template Blogger collection template Hot Deals BERITA_wongANteng SEO theproperty-developer

Memakai Pakaian Sempit Di Depan Wanita Lain Dan Memakai Pakaian Pendek Di Depan Anak-Anak

MEMAKAI PAKAIAN SEMPIT DI DEPAN WANITA LAIN

Oleh
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin

Pertanyaan
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin ditanya : Apakah wanita yang memakai pakaian yang sempit di depan wanita-wanita lain termasuk kategori yang disebut di dalam hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam : “ Wanita-wanita yang berpakaian namun telanjang…” sampai akhir hadits.

Jawaban
Tidak disangsikan lagi bahwa wanita tidak boleh memakai pakaian sempit yang mendatangkan fitnah bagi dirinya, demikian itu tidak boleh kecuali kepada suaminya saja. Adapun kepada yang lainnya tidak boleh walaupun di hadapan wanita lainnya. Apabila mereka melihat ia berpakaian demikian, maka pasti akan mengikutinya, sedangkan wanita itu diwajibkan untuk menutup auratnya dengan pakaian yang menutupi dan menghalangi pandangan setiap orang, kecuali pada suaminya, demikian pula wajib ia menutup auratnya di depan wanita-wanita lain sebagaimana di depan laki-laki. Kecuali apa yang sudah terbiasa dibuka di kalangan para wanita, seperti muka, kedua tangan dan kaki, yaitu bagian-bagian yang sering dibuka karena adanya keperluan.

[Durus wa Fatawa Haramil Maki, Syaikh Ibnu Utsaimin. 3/264]

HUKUM MENGENAKAN PAKAIAN YANG BERLENGAN PENDEK TERBUKA DAN SEMPIT

Pertanyaan
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin ditanya : Apa hukum wanita yang mengenakan pakaian yang berlengan pendek, di atas pergelangan tangan, dan terbuka di bagian leher, punggung atau betisnya di hadapan wanita lain? Dan apa hukum mengenakan pakaian yang sempit dan tipis di hadapan wanita lain tanpa ada laki-laki? Apa hukum mengenakan pakaian pendek hingga pertengahan betis?

Jawaban
Menurut saya tidak boleh bagi wanita mengenakan pakaian jenis ini meski di hadapan wanita, karena tergolong dalam hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam

“Artinya : Ada dua golongan ahli Neraka dari umatku, saya tidak melihat mereka sebelumnya; wanita-wanita yang berpakaian tapi telanjang, sesat dan menyesatkan, kepala mereka seperti punuk unta yang miring. Mereka tidak akan masuk surga dan tidak bisa mencium baunya. Dan para laki-laki yang memegang cambuk seperti ekor sapi yang dipakai untuk mencambuki manusia”.

Para ulama mengatakan, arti berpakaian tapi telanjang adalah bahwa para wanita ini mengenakan pakaian yang sempit, tipis atau pendek.

Petunjuk dari para isteri-isteri sahabat dahulu, bahwa mereka mengenakan pakaian yang sampai ke mata kaki, hingga pergelangan tangan. Kecuali apabila akan keluar, maka mereka mengenakan pakaian yang memanjang hingga lebih rendah dari sebelumnya dan lebih panjang dari pergelangan, atau kadang mengenakan sarung tangan, berdasarkan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa para wanita dilarang untuk mengenakan sarung tangan ketika sedang ihram.ini menunjukkan bahwa mengenakan sarung tangan sudah menjadi kebiasaan pada saat itu. Kalau tidak, maka tidak perlu lagi ada larangan untuk mengenakannya saat ihram (untuk haji dan umrah).

[Fatawa Tertulis yang ditandatangani oleh Syaikh Ibnu Utsaimin]

MENGENAKAN PAKAIAN PENDEK DI HADAPAN ANAK-ANAK LAKI-LAKI

Oleh
Syaikh Shalih bin Fauzan Al-Fauzan

Pertanyaan
Syaikh Shalih bin Fauzan Al-Fauzan ditanya : Saya mempunyai empat anak laki-laki dan saya mengenakan pakaian pendek di hadapan mereka. Apa hukum perbuatan saya tersebut ?

Jawaban
Tidak diperbolehkan bagi wanita mengenakan pakaian pendek di hadapan anak-anaknya atau para mahramnya, sebagaimana tidak diperbolehkan baginya untuk menampakkan sesuatu dari tubuhnya kecuali yang sudah biasa untuk ditampakkan di hadapan mereka yang tidak menimbulkan fitnah. Ia hanya diperbolehkan mengenakan pakaian pendek di hadapan suaminya saja.

[Kitab Al-Muntaqa min Fatawas Syaikh Shalih Al-Fauzan, juz 3 hal. 308]

[Disalin dari kitab Al-Fatawa Al-Jami'ah Lil Maratil Muslimah, edisi Indonesia Fatwa-Fatwa Tentang Wanita, Penyusun Amin bin Yahya Al-Wazan, Penerjemah Zaenal Abidin Syamsuddin, Penerbit Darul Haq]

Free Template Blogger collection template Hot Deals BERITA_wongANteng SEO theproperty-developer

PEMBAGIAN HARTA WARIS

Oleh
Ustadz Aunur Rofiq bin Ghufron
Bagian Pertama dari Dua Tulisan 1/2




Problema keluarga sehubungan dengan pembagian harta waris atau pusaka, akan bertambah rumit manakala diantara para ahli waris ingin menguasai harta peninggalan, sehingga berdampak merugikan orang lain. Tak ayal, permusuhan antara satu dengan lainnya sulit dipadamkan. Akhirnya solusi yang ditawarkan dalam pembagian waris tersebut ialah dengan dibagi sama rata. Atau ada juga yang menyelesaikannya di meja pengadilan dan upaya lainnya.

Sebagai kaum Muslimin, sesungguhnya untuk menyelesaikan permasalahan waris ini, sehingga persaudaraan di dalam keluarga tetap terjaga dengan baik, maka tidak ada jalan lain kecuali kembali kepada Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dari sinilah penulis ingin menyampaikan perkara ini. Meski singkat, kami berharap semoga bermanfaat.

SIAPAKAH YANG BERWENANG MEMBAGI HARTA WARIS?
Adapun yang berwenang membagi harta waris atau yang menentukan bagiannya yang berhak mendapatkan dan yang tidak, bukanlah orang tua anak, keluarga atau orang lain, tetapi Allah Subhanahu wa Ta’ala, karena Dia-lah yang menciptakan manusia, dan yang berhak mengatur kebaikan hambaNya.

“Artinya : Allah mensyariatkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu, bahagian seorang anak lelaki sama dengan bahagian dua orang anak perempuan…”[An-Nisa : 11]

“Artinya : Mereka meminta fatwa kepadamu (tentang kalalah). Katakanlah : “Allah memberi fatwa kepadamu tentang kalalah, (yaitu) jika seorang meninggal dunia, dan ia tidak mempunyai anak dan mempunyai saudara perempuan…” [An-Nisa : 176]

Sebab turun ayat ini, sebagaimana diceritakan oleh sahabat Jabir bin Abdullah Radhiyallahu ‘anhu bahwa dia bertanya kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam : “Wahai Rasulullah, apa yang harus aku lakukan dengan harta yang kutinggalkan ini”? Lalu turunlah ayat An-Nisa ayat 11. Lihat Fathul Baari 8/91, Shahih Muslim 3/1235, An-Nasa’i Fil Kubra 6/320

Jabir bin Abdullah Radhiyallahu ‘anhu berkata, datang isteri Sa’ad bin Ar-Rabi’ kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan membawa dua putri Sa’ad. Dia (isteri Sa’ad) bertanya :”Wahai Rasulullah, ini dua putri Sa’ad bin Ar-Rabi. Ayahnya telah meninggal dunia ikut perang bersamamu pada waktu perang Uhud, sedangkan pamannya mengambil semua hartanya, dan tidak sedikit pun menyisakan untuk dua putrinya. Keduanya belum menikah….”. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Allahlah yang akan memutuskan perkara ini”. Lalu turunlah ayat waris.

Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam memanggil paman anak ini, sambil bersabda : “Bagikan kepada dua putri Sa’ad dua pertiga bagian, dan ibunya seperdelapan Sedangkan sisanya untuk engkau”[Hadits Riwayat Ahmad, 3/352, Abu Dawud 3/314, Tuhwatul Ahwadzi 6/267, dan Ibnu Majah 2/908,Al-Hakim 4/333,Al-Baihaqi 6/229. Dihasankan oleh Al-Albani. Lihat Irwa 6/122]

Berdasarkan keterangan diatas jelaslah, bahwa yang berwenang dan berhak membagi waris, tidak lain hanyalah Allah Subhanahu wa Ta’ala. Bahkan Allah mempertegas dengan firmanNya : “Ini adalah ketetapan dari Allah”. Dan firmanNya : “Itu adalah ketentuan Allah”. Lihat surat An-Nisa ayat 11,13, dan 176.

Ketentuan Allah Subhanahu wa Ta’ala adalah sangat tepat dan satu-satunya cara untuk menanggulangi problema keluarga pada waktu keluarga meninggal dunia, khususnya dalam bidang pembagian harta waris, karena pembagian dari Allah Subhanahu wa Ta’ala pasti adil. Dan pembagiannya sudah jelas yang berhak menerimanya..Oleh sebab itu, mempelajari ilmu fara’idh atau pembagian harta pusaka merupakan hal yang sangat penting untuk menyelesaikan perselisihan dan permusuhan di antara keluarga, sehingga selamat dari memakan harta yang haram.

Berikutnya, Allah Subhanahu wa Ta’ala menentukan pembagian harta waris ini untuk kaum laki-laki dan perempuan. Allah berfirman.

“Artinya : Bagi laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu-bapak dan kerabatnya, dan bagi wanita ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan ibu-bapak dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut bahagian yang telah ditetapkan” [An-Nisa : 7]

Dalil pembagian harta waris secara terperinci dapat dibaca dalam surat An-Nisa ayat 11-13 dan 176.

BARANG YANG DIANGGAP SEBAGAI PENINGGALAN HARTA WARIS
Dalam ilmu fara’idh, terdapat istilah At-Tarikah. Menurut bahasa, artinya barang peninggalan mayit. Adapun menurut istilah, ulama berbeda pendapat. Sedangkan menurut jumhur ulama ialah, semua harta atau hak secara umum yang menjadi milik si mayit. Lihat Fiqhul Islam Wa Adillatih 8/270.

Muhammad bin Abdullah At-Takruni berkata : “At-Tarikah ialah, segala sesuatu yang ditinggalkan oleh mayit, berupa harta yang ia peroleh selama hidupnya di dunia, atau hak dia yang ada pada orang lain, seperti barang yang dihutang, atau gajinya, atau yang akan diwasiatkan, atau amanatnya, atau barang yang digadaikan, atau barang baru yang diperoleh sebab terbunuhnya dia, atau kecelakaan berupa santunan ganti rugi. Lihat kitab Al-Mualim Fil Fara’idh hal.119

Adapun barang tidak berhak diwaris, diantaranya:

[1]. Peralatan tidur untuk isteri dan peralatan yang khusus bagi dirinya, atau pemberian suami kepada isterinya semasa hidupnya. Lihat Fatawa Lajnah Daimah Lil Buhuts Al-Ilmiah wal Ifta 16/429

[2]. Harta yang telah diwakafkan oleh mayit, seperti kitab dan lainnya. Lihat Fatawa Lajnah Daimah Lil Buhuts Al-Ilmiah wal Ifta 16/466

[3]. Barang yang diperoleh dengan cara haram, seperti barang curian, hendaknya dikembalikan kepada pemiliknya, atau diserahkan kepada yang berwajib. Lihat keterangannya di dalam kitab Al-Muntaqa Min Fatawa, Dr Shalih Fauzan 5/238

Semua barang peninggalan mayit bukan berarti mutlak menjadi milik ahli waris, karena ada hak lainnya yang harus diselesaikan sebelum harta peninggalan tersebut dibagi. Hak-hak yang harus diselesaikan sebelum harta waris tersebut dibagi ialah sebagai berikut.

[1]. Mu’nat Tajhiz Atau Perawatan Jenazah
Kebutuhan perawatan jenazah hingga penguburannya. Misalnya meliputi pembelian kain kafan, upah penggalian tanah, upah memandikan, bahkan perawatan selama dia sakit. Semua biaya ini diambilkan dari harta si mayit sebelum dilakukan hal lainnya. Berdasarkan perkataan Ibnu Abbas Radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Dan kafanillah dia dengan dua pakaianya” [Hadits Riwayat Bukhari 2/656, Muslim 2/866] Maksudnya, peralatan dan perawatan jenazah diambilkan dari harta si mayit.

[2]. Al-Huquq Al-Muta’aliqah Bi Ainit Tarikah Atau Hak-Hak Yang Berhubungan Dengan Harta Waris.
Misalnya barang yang digadaikan oleh mayit, hendaknya diselesaikan dengan menggunakan harta si mayit, sebelum hartanya di waris. Bahkan menurut Imam Syafi’i, Hanafi dan Malik. Didahulukan hak ini sebelum kebutuhan perawatan jenazah, karena berhubungan dengan harta si mayit. Lihat Fiqhul Islami wa Adillatihi 8/274. Tas-hil Fara’idh, 9. Dalilnya ialah, karena perkara ini termasuk hutang yang harus diselesaikan oleh si mayit sebagaimana disebutkan di dalam surat An-Nisa ayat 12, yaitu : “Sesudah dibayar hutangnya”.

[3]. Ad-Duyun Ghairu Al-Muta’aliqah Bit Tarikah Atau Hutang Si Mayit
Apabila si mayit mempunyai hutang, baik yang behubungan dengan berhutang kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, seperti membayar zakat dan kafarah, atau yang berhubungan dengan anak Adam, seperti berhutang kepada orang lain, pembayaran gaji pegawainya, barang yang dibeli belum dibayar, melunasi pembayaran, maka sebelum diwaris, harta si mayit diambil untuk melunasinya. Dalilnya ialah.

“Artinya : Sesudah dipenuhi wasiat yang mereka buat atau (dan) sesudah dibayar hutangnya dengan tidak memberi madharat (kepada ahli waris)” [An-Nisa : 12]

[4]. Tanfidzul Wasiyyah Atau Menunaikan Wasiat
Sebelum harta diwaris, hendaknya diambil untuk menunaikan wasiat si mayit, bila wasiat itu bukan untuk ahli waris, karena ada larangan hal ini, dan bukan wasiat yang mengandung unsur maksiat, karena ada larangan mentaati perintah maksiat. Wasiat ini tidak boleh melebihi sepertiga, karena merupakan larangan. Dalilnya, lihat surat An-Nisa ayat 12 yaitu : “Sesudah dipenuhi wasiat yang mereka buat”.

Jika empat perkara di ats telah ditunaikan, dan ternyata masih ada sisa hak milik si mayit, maka itu dinamakan Tarikah atau bagian bagi ahli waris yang masih hidup. Dan saat pembagian harta waris, jika ada anggota keluarga lainnya yang tidak mendapatkan harta waris ikut hadir, sebaiknya diberi sekedarnya, agar dia ikut merasa senang, sebagaimana firman Allah dalam surat An-Nisa ayat 8.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi Khusus/Tahun IX/1426H/2005M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km. 8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183]

Free Template Blogger collection template Hot Deals BERITA_wongANteng SEO theproperty-developer

BERPENAMPILAN INDAH PADA HARI RAYA


Oleh
Syaikh Ali bin Hasan bin Ali Abdul Hamid Al-Halabi Al-Atsari


Dari Ibnu Umar Radhliallahu 'anhuma ia berkata : Umar mengambil sebuah jubah dari sutera tebal yang dijual di pasar, lalu ia datang kepada Rasulullah dan berkata :

"Artinya : Ya Rasulullah, belilah jubah ini agar engkau dapat berdandan dengannya pada hari raya dan saat menerima utusan. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda kepada Umar :'Ini adalah pakaiannya orang yang tidak mendapat bahagian (di akhirat-pent)'. Maka Umar tinggal sepanjang waktu yang Allah inginkan. Kemudian Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam mengirimkan kepadanya jubah sutera. Umar menerimanya lalu mendatangi Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Ia berkata : 'Ya Rasulullah, engkau pernah mengatakan : 'Ini adalah pakaiannya orang yang tidak mendapat bahagian', dan engkau telah mengirimkan padaku jubah ini'. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda kepada Umar :'Juallah jubah ini atau engkau penuhi kebutuhanmu dengannya". [1]

Berkata Al-Allamah As-Sindi.

"Dari hadits ini diketahui bahwa berdandan (membaguskan penampilan) pada hari raya merupakan kebiasaan yang ditetapkan di antara mereka, dan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam tidak mengingkarinya, maka diketahui tetapnya kebiasaan ini". [Hasyiyah As Sindi 'alan Nasa'i 3/181].

Al-Hafidh Ibnu Hajar berkata.

"Ibnu Abi Dunya dan Al-Baihaqi telah meriwayatkan dengan isnad yang shahih yang sampai kepada Ibnu Umar bahwa Ibnu Umar biasa memakai pakaiannya yang paling bagus pada hari Idul Fithri dan Idul Adha".[Fathul Bari 2/439]

Beliau juga menyatakan :

"Sisi pendalilan dengan hadist ini adalah takrir-nya (penetapan) Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam kepada Umar berdasarkan asal memperbagus penampilan itu adalah untuk hari Jum'at. Yang beliau ingkari hanyalah pemakaian perhiasan semisal itu karena ia terbuat dari sutera". [Fathul Bari 2/434].

Dalam 'Al-Mughni' (2/228) Ibnu Qudamah menyatakan :

"Ini menunjukkan bahwa membaguskan penampilan di kalangan mereka pada saat-saat itu adalah masyhur".

Malik berkata :

"Aku mendengar ulama menganggap sunnah untuk memakai wangi-wangian dan perhiasan pada setiap hari raya".

Berkata Ibnul Qayyim dalam "Zadul Ma'ad" (1/441).

"Nabi memakai pakaiannya yang paling bagus untuk keluar (melaksanakan shalat) pada hari Idul Fithri dan Idul Adha. Beliau memiliki perhiasan yang biasa dipakai pada dua hari raya itu dan pada hari Jum'at. Sekali waktu beliau memakai dua burdah (kain bergaris yang diselimutkan pada badan) yang berwarna hijau, dan terkadang mengenakan burdah berwarna merah[2], namun bukan merah murni sebagaimana yang disangka sebagian manusia, karena jika demikian bukan lagi namanya burdah. Tapi yang beliau kenakan adalah kain yang ada garis-garis merah seperti kain bergaris dari Yaman".



[Disalin dari buku Ahkamu Al' Iidaini Fii Al Sunnah Al Muthahharah, edisi Indonesia Hari Raya Bersama Rasulullah oleh Syaikh Ali bin Hasan bin Ali Abdul Hamid Al-Halabi Al-Atsari hal. 12-14, terbitan Pustaka Al-Haura', penerjemah Ummu Ishaq Zulfa Husein]
_________
Foote Note
[1]. Hadits Riwayat Bukhari 886,948,2104,2169, 3045, 5841,5891 dan 6081. Muslim 2068, Abu Daud 1076. An-Nasaa'i 3/196 dan 198. Ahmad 2/20,39 dan 49
[2]. Lihat "Silsilah As-Shahihah 1279

Free Template Blogger collection template Hot Deals BERITA_wongANteng SEO theproperty-developer

SURAT DARI IBU YANG TERKOYAK HATINYA

Anaku….
Ini surat dari ibu yang tersayat hatinya. Linangan air mata bertetesan deras menyertai tersusunnya tulisan ini. Aku lihat engkau lelaki yang gagah lagi matang. Bacalah surat ini. Dan kau boleh merobek-robeknya setelah itu, seperti saat engkau meremukkan kalbuku sebelumnya.

Sejak dokter mengabari tentang kehamilan, aku berbahagia. Ibu-ibu sangat memahami makna ini dengan baik. Awal kegembiraan dan sekaligus perubahan psikis dan fisik. Sembilan bulan aku mengandungmu. Seluruh aktivitas aku jalani dengan susah payah karena kandunganku. Meski begitu, tidak mengurangi kebahagiaanku. Kesengsaraan yang tiada hentinya, bahkan kematian kulihat didepan mataku saat aku melahirkanmu. Jeritan tangismu meneteskan air mata kegembiraan kami.

Berikutnya, aku layaknya pelayan yang tidak pernah istirahat. Kepenatanku demi kesehatanmu. Kegelisahanku demi kebaikanmu. Harapanku hanya ingin melihat senyum sehatmu dan permintaanmu kepada Ibu untuk membuatkan sesuatu.

Masa remaja pun engkau masuki. Kejantananmu semakin terlihat, Aku pun berikhtiar untuk mencarikan gadis yang akan mendampingi hidupmu. Kemudian tibalah saat engkau menikah. Hatiku sedih atas kepergianmu, namun aku tetap bahagia lantaran engkau menempuh hidup baru.

Seiring perjalanan waktu, aku merasa engkau bukan anakku yang dulu. Hak diriku telah terlupakan. Sudah sekian lama aku tidak bersua, meski melalui telepon. Ibu tidak menuntut macam-macam. Sebulan sekali, jadikanlah ibumu ini sebagai persinggahan, meski hanya beberapa menit saja untuk melihat anakku.

Ibu sekarang sudah sangat lemah. Punggung sudah membungkuk, gemetar sering melecut tubuh dan berbagai penyakit tak bosan-bosan singgah kepadaku. Ibu semakin susah melakukan gerakan.

Anakku…
Seandainya ada yang berbuat baik kepadamu, niscaya ibu akan berterima kasih kepadanya. Sementara Ibu telah sekian lama berbuat baik kepada dirimu. Manakah balasan dan terima kasihmu pada Ibu ? Apakah engkau sudah kehabisan rasa kasihmu pada Ibu ? Ibu bertanya-tanya, dosa apa yang menyebabkan dirimu enggan melihat dan mengunjungi Ibu ? Baiklah, anggap Ibu sebagai pembantu, mana upah Ibu selama ini ?

Anakku..
Ibu hanya ingin melihatmu saja. Lain tidak. Kapan hatimu memelas dan luluh untuk wanita tua yang sudah lemah ini dan dirundung kerinduan, sekaligus duka dan kesedihan ? Ibu tidak tega untuk mengadukan kondisi ini kepada Dzat yang di atas sana. Ibu juga tidak akan menularkan kepedihan ini kepada orang lain. Sebab, ini akan menyeretmu kepada kedurhakaan. Musibah dan hukuman pun akan menimpamu di dunia ini sebelum di akhirat. Ibu tidak akan sampai hati melakukannya,

Anakku…
Walaupun bagaimanapun engkau masih buah hatiku, bunga kehidupan dan cahaya diriku…

Anakku…
Perjalanan tahun akan menumbuhkan uban di kepalamu. Dan balasan berasal dari jenis amalan yang dikerjakan. Nantinya, engkau akan menulis surat kepada keturunanmu dengan linangan air mata seperti yang Ibu alami. Di sisi Allah, kelak akan berhimpun sekian banyak orang-orang yang menggugat.

Anakku..
Takutlah engkau kepada Allah karena kedurhakaanmu kepada Ibu. Sekalah air mataku, ringankanlah beban kesedihanku. Terserahlah kepadamu jika engkau ingin merobek-robek surat ini. Ketahuilah, “Barangsiapa beramal shalih maka itu buat dirinya sendiri. Dan orang yang berbuat jelek, maka itu (juga) menjadi tanggungannya sendiri”.

Anakku…
Ingatlah saat engkau berada di perut ibu. Ingat pula saat persalinan yang sangat menegangkan. Ibu merasa dalam kondisi hidup atau mati. Darah persalinan, itulah nyawa Ibu. Ingatlah saat engkau menyusui. Ingatlah belaian sayag dan kelelahan Ibu saat engkau sakit. Ingatlah ….. Ingatlah…. Karena itu, Allah menegaskan dengan wasiat : “Wahai, Rabbku, sayangilah mereka berdua seperti mereka menyayangiku waktu aku kecil”.

Anakku…
Allah berfirman: “Dan dalam kisah-kisah mereka terdapat pelajaran bagi orang-orang berakal” [Yusuf : 111]

Pandanglah masa teladan dalam Islam, masa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam masih hidup, supaya engkau memperoleh potret bakti anak kepada orang tua.

KISAH TELADAN KEPADA ORANG TUA
Sahabat Abu Hurairah sempat gelisah karena ibunya masih dalam jeratan kekufuran. Dalam shahih Muslim disebutkan, dari Abu Hurairah, ia bercerita.

Aku mendakwahi ibuku agar masuk Islam. Suatu hari aku mengajaknya untuk masuk Islam, tetapi dia malah mengeluarkan pernyataan tentang Nabi yang aku benci. Aku (pun) menemui Rasulullah dalam keadaan menangis. Aku mengadu.

“Wahai Rasulullah, aku telah membujuk ibuku untuk masuk Islam, namun dia menolakku. Hari ini, dia berkomentar tentang dirimu yang aku benci. Mohonlah kepada Allah supaya memberi hidayah ibu Abu Hurairah”. Rasulullah bersabda : “Ya, Allah. Tunjukilah ibu Abu Hurairah”. Aku keluar dengan hati riang karena do’a Nabi. Ketika aku pulang dan mendekati pintu, maka ternyata pintu terbuka. Ibuku mendengar kakiku dan berkata : “Tetap di situ Abu Hurairah”. Aku mendengar kucuran air. Ibu-ku sedang mandi dan kemudian mengenakan pakaiannya serta menutup wajahnya, dan kemudian membuka pintu. Dan ia berkata : “Wahai, Abu Hurairah ! Asyhadu an Laa Ilaaha Illa Allah wa Asyhadu Anna Muhammadan Abduhu wa Rasuluhu”. Aku kembali ke tempat Rasulullah dengan menangis gembira. Aku berkata, “Wahai, Rasulullah, Bergembiralah. Allah telah mengabulkan do’amu dan menunjuki ibuku”. Maka beliau memuji Allah dan menyanjungNya serta berkomentar baik” [Hadits Riwayat Muslim]

Ibnu Umar pernah melihat lelaki menggendong ibunya dalam thawaf. Ia bertanya : “Apakah ini sudah melunasi jasanya (padaku) wahai Ibnu Umar?” Beliau menjawab : “Tidak, meski hanya satu jeritan kesakitan (saat persalinan)”.

Zainal Abidin, adalah seorang yang terkenal baktinya kepada ibu. Orang-orang keheranan kepadanya (dan berkata) : “Engkau adalah orang yang paling berbakti kepada ibu. Mengapa kami tidak pernah melihatmu makan berdua dengannya dalam satu talam”? Ia menjawab,”Aku khawatir tanganku mengambil sesuatu yang dilirik matanya, sehingga aku durhaka kepadanya”.

Sebelumnya, kisah yang lebih mengharukan terjadi pada diri Uwais Al-Qarni, orang yang sudah beriman pada masa Nabi, sudah berangan-angan untuk berhijrah ke Madinah untuk bertemu dengan Nabi. Namun perhatiannya kepada ibunya telah menunda tekadnya berhijrah. Ia ingin bisa meraih surga dan berteman dengan Nabi dengan baktinya kepada ibu, kendatipun harus kehilangan kemuliaan menjadi sahabat Beliau di dunia.

Dalam shahih Muslim, dari Usair bin Jabir, ia berkata : Bila rombongan dari Yaman datang, Umar bin Khaththab bertanya kepada mereka : “Apakah Uwais bin Amir bersama kalian ?” sampai akhirnya menemui Uwais. Umar bertanya, “Engkau Uwais bin Amir?” Ia menjawa,”Benar”. Umar bertanya, “Engkau dari Murad kemudian beralih ke Qarn?” Ia menjawab, “Benar”. Umar bertanya, “Engkau punya ibu?”. Ia menjawab, “Benar”. Umar (pun) mulai bercerita, “Aku mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.

“Akan datang pada kalian Uwais bin Amir bersama rombongan penduduk Yaman yang berasal dari Murad dan kemudian dari Qarn. Ia pernah tertimpa lepra dan sembuh total, kecuali kulit yang sebesar logam dirham. Ia mempunyai ibu yang sangat dihormatinya. Seandainya ia bersumpah atas nama Allah, niscaya aku hormati sumpahnya. Mintalah ia beristighfar untukmu jika bertemu”.

(Umar berkata), “Tolong mintakan ampun (kepada Allah) untukku”. Maka ia memohonkan ampunan untukku. Umar bertanya, “Kemana engkau akan pergi?”. Ia menjawab, “Kufah”. Umar berkata, “Maukah engkau jika aku menulis (rekomendasi) untukmu ke gubernurnya (Kufah)?” Ia menjawab, “Aku lebih suka bersama orang yang tidak dikenal”.

Kisah lainnya tentang bakti kepada ibu, yaitu Abdullah bin Aun pernah memanggil ibunya dengan suara keras, maka ia memerdekakan dua budak sebagai tanda penyesalannya.

KISAH KEDURHAKAAN KEPADA ORANG TUA
Diceritakan ada lelaki yang sangat durhaka kepada sang ayah sampai tega menyeret ayahnya ke pintu depan untuk mengusirnya dari rumah. Sang ayah ini dikarunia anak yang lebih durhaka darinya. Anak itu menyeret bapaknya sampai kejalanan untuk mengusirnya dari rumahnya. Maka sang bapak berkata : “Cukup… Dulu aku hanya menyeret ayahku sampai pintu depan”. Sang anak menimpali : “Itulah balasanmu. Adapun tembahan ini sebagai sedekh dariku!”.

Kisah pedih lainnya, seorang Ibu yang mengisahkan kesedihannya : “Suatu hari istri anakku meminta suaminya (anakku) agar menempatkanku di ruangan yang terpisah, berada di luar rumah. Tanpa ragu-ragu, anakku menyetujuinya. Saat musim dingin yang sangat menusuk, aku berusaha masuk ke dalam rumah, tapi pintu-pintu terkunci rapat. Rasa dingin pun menusuk tubuhku. Kondisiku semakin buruk. Anakku ingin membawaku kesuatu tempat. Perkiraanku ke rumah sakit, tetapi ternyata ia mencampakkanku ke panti jompo. Dan setelah itu tidak pernah lagu menemuiku”

Sebagai penutup, kita harus memahami bahwa bakti kepada orang tua merupakan jalan lempang dan mulia yang mengantarkan seorang anak menuju surga Allah. Sebaliknya, kedurhakaan kepada mereka, bisa menyeret sang anak menuju lembah kehinaan, neraka.

Hati-hatilah, durhaka kepada orang tua, dosanya besar dan balasannya menyakitkan. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.

“Artinya : Akan terhina, akan terhina dan akan terhina!” Para sahabat bertanya, “Wahai Rasulullahj, siapakah gerangan ?” Beliau bersabda, “Orang yang mendapati orang tuanya, atau salah satunya pada hari tuanya, namun ia (tetap) masuk neraka” [Hadits Riwayat Muslim]

[Diadaptasi dari Idatush Shabirin, oleh Abdullah bin Ibrahim Al-Qa’rawi dan Ilzam Rijlaha Fatsamma Al-Jannah, oleh Shalihj bin Rasyid Al-Huwaimil]

[Disalin dari Majalah As-Sunnah Edisi 11/Tahun VIII/1425/2005M. Penerbiit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km 8 Selokaton Gondangrejo – Solo 57183]

Free Template Blogger collection template Hot Deals BERITA_wongANteng SEO theproperty-developer

cinta sepanjang Masa


Ia adalah wanita yang terus hidup dalam hati suaminya sampaipun ia telah meninggal dunia. Tahun-tahun yang terus berganti tidak dapat mengikis kecintaan sang suami padanya. Panjangnya masa tidak dapat menghapus kenangan bersamanya di hati sang suami. Bahkan sang suami terus mengenangnya dan bertutur tentang andilnya dalam ujian, kesulitan dan musibah yang dihadapi. Sang suami terus mencintainya dengan kecintaan yang mendatangkan rasa cemburu dari istri yang lain, yang dinikahi sepeninggalnya. (Mazin bin Abdul Karim Al Farih  dalam kitabnya Al Usratu bilaa Masyaakil)
Suatu hari istri beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam yang lain (yakni ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha) berkata, “Aku tidak pernah cemburu kepada seorang pun dari istri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam seperti cemburuku pada Khadijah, padahal aku tidak pernah melihatnya, akan tetapi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam selalu menyebutnya.” (HR. Bukhari)
Ya, dialah Khadijah bintu Khuwailid bin Asad bin ‘Abdul ‘Uzza bin Qushai. Dialah wanita yang pertama kali dinikahi oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Bersamanya, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam membina rumah tangga harmonis yang terbimbing dengan wahyu di Makkah. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak menikah dengan wanita lain sehingga dia meninggal dunia.
Saat menikah, Khadijah radhiyallahu ‘anha berusia 40 tahun sementara Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berusia 25 tahun. Saat itu ia merupakan wanita yang paling terpandang, cantik dan sekaligus kaya. Ia menikah dengan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tak lain karena mulianya sifat beliau, karena tingginya kecerdasan dan indahnya kejujuran beliau. Padahal saat itu sudah banyak para pemuka dan pemimpin kaum yang hendak menikahinya.
Ia adalah wanita terbaik sepanjang masa. Ia selalu memberi semangat dan keleluasaan pada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk mencari kebenaran. Ia sendiri yang menyiapkan bekal untuk Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam saat beliau menyendiri dan beribadah di gua Hira’. Seorang pun tidak akan lupa perkataannya yang masyhur yang menjadikan Nabi merasakan tenang setelah terguncang dan merasa bahagia setelah bersedih hati ketika turun wahyu pada kali yang pertama, “Demi Allah, Allah tidak akan menghinakanmu selama-lamanya. Karena sungguh engkau suka menyambung silaturahmi, menanggung kebutuhan orang yang lemah, menutup kebutuhan orang yang tidak punya, menjamu dan memuliakan tamu dan engkau menolong setiap upaya menegakkan kebenaran.” (HR. Muttafaqun ‘alaih) (Mazin bin Abdul Karim Al Farih  dalam kitabnya Al Usratu bilaa Masyaakil)
Pun, saat suaminya menerima wahyu yang kedua berisi perintah untuk mulai berjuang mendakwahkan agama Allah dan mengajak pada tauhid, ia adalah wanita pertama yang percaya bahwa suaminya adalah utusan Allah dan kemudian menyatakan keislamannya tanpa ragu-ragu dan bimbang sedikit pun juga.
Khadijah termasuk salah satu nikmat yang Allah anugerahkan pada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dia mendampingi beliau selama seperempat abad, menyayangi beliau di kala resah, melindungi beliau pada saat-saat yang kritis, menolong beliau dalam menyebarkan risalah, mendampingi beliau dalam menjalankan jihad yang berat, juga rela menyerahkan diri dan hartanya pada beliau. (Syaikh Shafiyurrahman Al Mubarakfury di dalam Sirah Nabawiyah)
Suatu kali ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata pada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam setelah beliau menyebut-nyebut Khadijah, “Seakan-akan di dunia ini tidak ada wanita lain selain Khadijah?!” Maka beliau berkata kepada ‘Aisyah, “Khadijah itu begini dan begini.” (HR. Bukhari)
Dalam riwayat Ahmad pada Musnad-nya disebutkan bahwa yang dimaksud dengan “begini dan begini” adalah sabda beliau, “Ia beriman kepadaku ketika semua orang kufur, ia membenarkan aku ketika semua orang mendustakanku, ia melapangkan aku dengan hartanya ketika semua orang mengharamkan (menghalangi) aku dan Allah memberiku rezeki berupa anak darinya.” (Mazin bin Abdul Karim Al Farih  dalam kitabnya Al Usratu bilaa Masyaakil)
Karenanya saudariku muslimah, jika engkau ingin hidup dalam hati suamimu maka sertailah dia dalam mencintai dan menegakkan agama Allah, sertailah dia dalam suka dan dukanya. Jadilah engkau seperti Khadijah hingga engkau kelak mendapatkan apa yang ia dapatkan. Sebagaimana yang diriwayatkan dalam Shahih Bukhari, Jibril mendatangi nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam seraya berkata, “Wahai Rasulullah, inilah Khadijah yang datang sambil membawa bejana yang di dalamnya ada lauk atau makanan atau minuman. Jika dia datang, sampaikan salam kepadanya dari Rabb-nya, dan sampaikan kabar kepadanya tentang sebuah rumah di surga, yang di dalamnya tidak ada suara hiruk pikuk dan keletihan.”
Saudariku muslimah, maukah engkau menjadi Khadijah yang berikutnya?
Maraji:
  1. Rumah Tangga tanpa Problema (terjemahan dari Al Usratu bilaa Masyaakil) karya Mazin bin Abdul Karim Al Farih
  2. Sirah Nabawiyah (terj) karya Syaikh Shafiyurrahman Al Mubarakfury
  3. Al Quran dan Terjemahnya
***
Penyusun: Ummu Abdirrahman
Muroja’ah: ustadz Abu Salman
Artikel www.muslimah.or.id

Free Template Blogger collection template Hot Deals BERITA_wongANteng SEO theproperty-developer

MLM Sebuah Permasalahan Kiwari..??

oleh : Ustadz Khalid Syamhudi, Lc
Seiring kemajuan teknologi beserta pola pikir manusia dan naik turun beserta jatuhnya aqidah dan akhlak mereka, bermunculanlah beragam perkara baru hasil jerih payah usaha manusia, khususnya dalam permasalah bisnis. Semuanya dilakukan untuk memakmurkan diri mereka -demikian anggapan mereka- tentunya dengan berusaha menghipnotis manusia dengan propaganda dan promosi yang sangat menarik dan menggiurkan tanpa memandang dahulu bagaimana tinjauan syari’at Islam yang sangat sempurna ini terhadap jenis perkara tersebut.

Memang demikianlah kondisi sebagian kaum muslimin -kalau tidak dikatakan kebanyakan mereka- memandang usaha hanya semata-mata bagaimana mendapatkan keuntungan sebanyak mungkin, walaupun itu sangat fantastis dan tampak seperti mimpi. Hal inipun tidak lepas dari berita wahyu yang disampaikan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam sabdanya:

يَأْتِي عَلَى النَّاسِ زَمَانٌ لاَ يُبَالِي الْمَرْءُ مَا أَخَذَ مِنْهُ؛ أَمِن الحَلاَلِ أَمْ مِنَ الحَرَامِ؟!
Artinya: “Akan datang kepada manusia suatu zaman (ketika itu) seorang tidak lagi perduli dengan apa yang dia dapatkan, apakah dari yang halal atau haram?!” (HR. Bukhari 2059)

Berapa banyak seseorang menzhalimi saudaranya hanya dengan dalih harta, bahkan saling menumpahkan darah diantara mereka. Memang benar pernyataan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam salah satu haditsnya,

إِنَّ لِكُلِّ أُمَّةٍ فِتْنَةً وَفِتْنَةُ أُمَّتِي الْمَالُ
Artinya: “Sesungguhnya setiap umat mendapatkan fitnah dan fitnah umat ini adalah harta.” (HR. Al Timidzi dalam sunannya kitab Al Zuhd)

Fenomena seperti ini memang merupakan ujian yang sulit bagi kaum muslimin ketika iman dan taqwa semakin menipis, sedangkan ketamakan merupakah salah satu tabiat manusia, seperti dijelaskan dalam sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,

لَوْ كَانَ لاِبْنِ آدَمَ وَادِيَانِ مِنْ مَالٍ ؛ لاَبْتَغَى ثَالِثاً , وَلاَ يَمَلأُ جَوْفَ ابْنِ آدَمَ إِلاَّ التُّرَابُ , وَيَتُوْبُ الله ُعَلَى مَنْ تَابَ
Artinya: “Seandainya anak Adam memiliki dua lembah harta; pasti ia menginginkan yang ketiga, sedangkan perut anak Adam tidaklah dipenuhi kecuali dengan tanah, dan Allah memberi taubat-Nya kepada yang bertaubat.” (HR. Bukhari no 6436, Muslim no 1049)

Apalagi di zaman kiwari ini, dimana media komunikasi dan promosi demikian merebak hingga ke pelosok desa terpencil, sehingga bertebaranlah jenis muamalat di masyarakat yang sebelumnya tidak diketahui, diantaranya MLM (Multi Level Marketing). Oleh karena itu, perlu sekali kita merujuk kepada fatwa para ulama seputar permasalalahan yang sekarang sedang semarak ini dengan beragam nama dan teknik pemasaran, walaupun hakikatnya satu yaitu membuat jaringan bisnis dengan membentuk jaringan piramida dengan cara anggota pertama merekrut beberapa anggota baru yang menjadi kakinya (dalam jaringan tersebut) dan kaki-kaki inipun merekrut yang lainnya agar menjadi lapisan di bawahnya dan seterusnya, dengan syarat setiap orang yang ingin mendapat keanggotaan harus mendaftar dengan membayar sejumlah uang.

Sebagian jenis usaha ini menggunakan produk nyata seperti obat-obatan atau kosmetik atau yang lainnya dan sebagian lainnya tidak menggunakan produk, cukup dengan menyetor sejumlah uang, misalnya Rp 3 juta, lalu bila ia dapat merekrut anggota baru, baik langsung atau tidak langsung akan mendapatkan keuntungan uang tertentu, dan sampai batas tertentu akan mendapatkan bonus keuntungan yang sangat menggoda sekali, seperti kendaraan, naik haji, umroh atau wisata ke luar negeri. Sebaliknya, bila tidak mampu merekrut anggota baru maka tidak mendapatkan keuntungan tersebut dan merugi karena uang keanggotaan tersebut hilang bersama waktu yang ditentukan. Yang aneh, para anggota bisnis tersebut tidak berpikir bila perusahaannya suatu saat akan berhenti, dan itu pasti. Lalu bagaimana dengan nasib anggota yang baru masuk menjelang berhentinya perusahaan tersebut?

Nah, ternyata cara muamalah seperti ini tidak hanya ada di negeri ini saja namun juga ada di luar negeri, sebut saja di Timur Tengah atau Amerika atau tempat yang lainnya yang semuanya sama; menjadikan pertambahan pembayaran keanggotaan sebagai tujuan bisnisnya bukan penjualan produk.

Karena banyak pertanyaan disampaikan kepada para ulama seputar permasalan ini dan perlunya merujuk kepada para ulama dalam perkara kontemporer seperti ini, maka perlu disampaikan hakekat hukum syariat dan pandangan para ulama berkenaan dengan permasalahan ini, sehingga jelas dan gamblanglah sikap seorang muslim terhadap muamalah seperti ini.

Syeikh Hasan bin Ali bin Abdilhamid Al Atsari -Hafidzahullah Ta’ala- berkata seputar permasalahan ini: [1]

“Sesungguhnya (termasuk) kewajiban ulama terpercaya dan para penuntut ilmu yang konsisten, adalah mengangkat problematika aktual, atau permasalahan kontemporer, yang masih sulit dipahami oleh sebagian kaum muslimin-atau banyak dari mereka, sehingga Allah berfirman,

وَإِذْ أَخَذَ اللّهُ مِيثَاقَ الَّذِينَ أُوتُواْ الْكِتَابَ لَتُبَيِّنُنَّهُ لِلنَّاسِ وَلاَ تَكْتُمُونَهُ
Artinya: “Dan (ingatlah), ketika Allah mengambil janji dari orang-orang yang telah diberi kitab (yaitu): ‘Hendaklah kamu menerangkan isi kitab itu kepada manusia, dan jangan kamu menyembunyikannya…’ “ (Qs. Ali Imran: 187)

Sungguh telah banyak datang soal dan pertanyaan seputar bisnis perdagangan -yang baru!!-, banyak orang terjerumus ke dalamnya dan yang bertanya hukumnya hanyalah orang-orang shalih; sebagaimana Allah berfirman,

وَقَلِيلٌ مِّنْ عِبَادِيَ الشَّكُورُ
Artinya: “Dan sedikit sekali dari hamba-hamba-Ku yang berterima kasih.”

Dan sebagaimana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

يَأْتِي عَلَى النَّاسِ زَمَانٌ لاَ يُبَالِي الْمَرْءُ مَا أَخَذَ مِنْهُ؛ أَمِن الحَلاَلِ أَمْ مِنَ الحَرَامِ؟!
Artinya: “Akan datang kepada manusia suatu zaman (ketika itu) seorang tidak lagi perduli dengan apa yang dia dapatkan[2], apakah dari yang halal atau haram?!” (HR. Bukhari no.2059 dan no. 2083)

Sesungguhnya kami benar-benar memuji Allah Ta’ala atas datangnya pertanyaan-pertanyaan semacam ini di zaman sesulit ini, karena hal ini menunjukkan -walhamdulillah- adanya benih-benih kebaikan dan keimanan yang tertanam kuat di dalam dada banyak orang muslim yang masih ragu -betapapun banyaknya propaganda/penggiur dan penyamaran- terhadap muamalah ini!!

Seandainya setiap muslim menjadikan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam (berikut):

البِرُّ حُسْنُ الخُلُقِ, وَالإِثْمُ مَا حَاكَ فِي صَدْرِكَ, وَكَرِهْتَ أَنْ يَطَّلِعَ عَلَيْهِ النَّاسُ
Artinya: “Kebaikan adalah bagusnya budi pekerti, dan (perbuatan) dosa adalah segala sesuatu yang tertanam di dadamu, sedangkan kamu merasa tidak suka jika ada orang lain yang mengetahuinya.” (HR. Muslim no. 2553)

Sebagai standar acuannya (dalam bermuamalah) dan sebagai pelita hidupnya, tentulah tidak akan pernah terjerumus seorangpun -dari mereka- ke dalam lingkaran besar kebingungan dan kerancuan; dengan mengatasnamakan label Al Din (agama), syari’at, dan label halal!! La Haula Wala Quwata Illa Billah (Dan tidak ada daya dan upaya kecuali dengan pertolongan Allah Yang Maha Agung).

Kesimpulan bisnis perdagangan -yang baru ini!- terwujud dengan keikutsertaan anggotanya dalam aturan pemasaran (marketing) berbentuk jaringan piramid, yaitu setiap anggotanya merekrut dua anggota baru lainnya, dan setiap orang dari anggota baru tersebut merekrut dua anggota baru lagi… demikian seterusnya!!

Keanggotaan tersebut dilakukan dengan cara pembayaran yang dilakukan oleh seorang yang ingin menjadi anggota -dan ini harus dilakukan!- sebagai tanda pembelian produk abstrak (yang tidak ada kenyataan wujudnya)! Agar dia dapat masuk dalam program bisnis ini!! Sebagai imbalan dari bisnis ini, apabila dia berhasil merekrut sembilan anggota baru lainnya; dia akan mulai mendapatkan keuntungan-keuntungan yang diberikan oleh perusahaan induk!!

Sedangkan untuk kontinuitas/kelanggengan (!) dalam mendapatkan keuntungan ini (!), (setiap anggota) diharuskan terus memperbaharui pembayaran (!!) sebesar uang pendaftaran ulang sebagai anggota pada setiap tahunnya!!!

Dan semakin meluasnya piramid (!) yang bermula dari keikutsertaannya sebagai anggota dan sebagai distributor, semakin banyak pula jumlah anggotanya, dan semakin lama jangka waktunya, serta semakin besar pula nominal uang keuntungan yang dijanjikan dan diimpi-impikannya!! [3]

Semua ini tidak terjamin keselamatannya -sama sekali-; karena hal ini -seperti yang akan datang penjelasannya- dibangun di atas pembayaran uang kontan yang jelas (diketahui) untuk mendapatkan keuntungan yang jauh lebih banyak; namun tidak ada kejelasannya (tidak diketahui)!!

Dan hal ini mengandung unsur spekulasi yang tidak terselubung lagi! Semoga Allah merahmati seorang Imam besar Al Laits bin Sa’ad -yang berkata- tentang masalah ini: “Seandainya orang-orang yang memiliki pemahaman halal dan haram mencermati masalah ini, pastilah mereka tidak akan membolehkannya; karena di dalamnya mengandung unsur spekulasi!” (HR. Al Bukhari, no.2346)

Demikianlah mutiara ilmu dan hikmah yang perlu kita perhatikan dan pahami.

Inilah penjelasan Syaikh Ali Hasan -hafizhullahu- semoga dapat menggugah kita untuk lebih berhati-hati. Wabillahit Taufiq


--------------------------------------------
Footnotes:

[1] Ini semua dari pernyataan beliau dan footnotenya diangkat dari pengantar beliau dalam kitab Ta’rief ‘Uqalaa’ An Naas bi Hukmi Mu’amalat Biznaas- Wamaa Syabahahaa Fi Al Far’i aw Al Asaas, cetakan pertama tahun 2003M, penerbit Dar Al Janaan dan Daar Al Atsariyah hal 3-8

[2] Sama saja di dalam kenyataan muamalahnya, atau tidak ada keinginannya (untuk bertanya -pent). Maka (hendaknya) seorang muslim yang bertaqwa bertanya tentang hukum syar’inya (lebih dahulu) sebelum dia terjerumus ke dalam muamalah ini atau prakteknya.

[3] Maka motivator utama yang mendorong mayoritas anggota (bisnis marketing ini)! -apalagi para distributornya! Atau para pendukungnya!!- adalah janji -atau praduga! dan mimpi-mimpi!!- untuk bisa meraih kekayaan -hanya dalam jangka waktu satu tahun saja-!!

Walaupun (memang) terbukti pada sebagian mereka -dari para perintis (bisnis ini)!- berupa secuil (kekayaan) yang bisa mereka rasakan(!); (Akan tetapi) sesungguhnya hal ini tidak akan dirasakan oleh sebagian besar -dari anggota yang berposisi di tengah atau di akhir dari sistem piramid bisnis tersebut !-, sedangkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

لاَ يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى يُحِبَّ لأَخِيْهِ مَايُحِبُّ لِنَفْسِهِ
Artinya: “Tidaklah sempurna keimanan seseorang di antara kalian hingga ia mencintai untuk saudaranya apa yang ia cintai untuk dirinya sendiri.”(Muttafaqun ‘alaihi)

Juga sebagai peringatan bahwa bagian singa jantan -dan betina!- (bagian keuntungan terbesar dan dominan) dari uang pendaftaran -seluruhnya- kembali kepada perusahaan induk!!!

Hal itu (terjadi) karena perusahaan mensyaratkan kepada setiap anggota (!) yang membayar (99) dolar -sebagai persyaratan masuk sistem piramid tersebut!!- untuk merekrut 9 orang (lainnya) sebelum perusahaan memberikan uang komisi pertama kalinya yang pernah dijanjikan, yang besarnya adalah 55 dolar.

Ditambah lagi dengan hasil penjualan (produk) kepada 9 orang yang membuat perusahaan itu -dengan keadaan seperti ini- mendapatkan keuntungan yang berlipat ganda, jauh di atas beban biaya produksi -yang diklaim ada wujud produknya-, yang harganya tidak lebih sama sekali dari (24) dolar -sesuai pengakuan sebagian para distributor mereka!!-; yaitu: sama dengan: 9 x 75 = 675 dolar, dikurangi 55 dolar, sehingga sisanya 620 dolar -masih ditambah lagi (75 dolar)-, (dari) uang yang diambil dari anggota pertama tadi -tanpa beban biaya produksi-; yaitu: bahwa anggota yang membawa 9 pendaftar (anggota baru lainnya) (!), dia akan mendapatkan 55 dolar, sedangkan para pemilik/perintis perusahaan tersebut saat itu juga mendapatkan -setelah dikalkulasi!- untung bersih sebanyak 695 dolar.

Dan yang mengherankan (!) bahwa para pemilik perusahaan (Biznas) ini -di dalam situs mereka- mengakui (!) bahwa waktu penyediaan situs khusus bagi para pendaftar baru (!) tidak lebih dari (30) detik saja!!

Maka apakah praktek semacam ini berhak mendapatkan uang sebanyak itu?! Ataukah ia hanya penipuan semata; seperti perkataan orang: “Merubah bentuk untuk bisa makan!!!”

[Sumber:www.ekonomisyariat.com]

Free Template Blogger collection template Hot Deals BERITA_wongANteng SEO theproperty-developer

Mencari Kunci Rizki yang hilang

Banyak orang yang masih bingung untuk membuka pintu rizki yang sudah ada dihadapannya, hal itu dikarenakan ia belum menemukan kunci rizki yang tepat, atau bahkan belum memiliki kuncinya, yang selanjutnya dapat dipergunakan untuk membuka pintu dan mendapatkan limpahan karunia rizki yang melimpah dan penuh berkah.

Orang-orang yang tidak sabar akan mengambil jalan pintas untuk mendapatkan rizki guna memenuhi kebutuhan hawa nafsunya, tak peduli halal atau haram. Sedangkan orang-orang yang ikhlas dan sabar, sejatinya dialah yang akan dapat membuka pintu perbendaharaan rizki dan menikmati limpahan karunia Allah dengan penuh kebahagiaan, baik didunia maupun diakhirat kelak.

Dengan membaca buku buah karya Ustadz zainal abidin ini, Insya Allah anda akan semakin terang dalam memandang jalan rizki yang halal dan penuh berkah, dan andapun dapat menilai dengan benar, " halal atau haramkah rizki kita ".

Buku ini merupakan salah satu dari banyak buah karya dari Ustadz zainal zainal abidin, semoga kita semua bisa mengambil manfaat yang banyak dari buku ini.

Free Template Blogger collection template Hot Deals BERITA_wongANteng SEO theproperty-developer

Aroma Kasturi Keluar Dari Hidung Jenazah Wanita Saat Dimandikan

Ummu Ahmad ad-Du'aijy berkata ketika ia ditemui Majalah Yamamah tentang kematian seorang gadis berusia 20 tahun pada kecelakaan kendaraan. Beberapa saat sebelum meninggal, ia pernah ditanya oleh familinya "Bagaimana keadaanmu wahai fulanah.?" Ia menjawab, "Baik, alhamdulillah." Tetapi beberapa saat setelah itu ia meninggal dunia. Semoga Allah merahmatinya.

Mereka membawanya ke tempat memandikan mayat. Ketika kami meletakkan mayatnya di atas kayu pemandian untuk dimandikan, kami melihat wajahnya ceria dan tersimpul senyuman seakan-akan ia sedang tidur. Di tubuhnya tidak ada cacat, patah dan luka. Dan anehnya (sebagaimana yang dikatakan ummu Ahmad) ketika mereka hendak mengangkatnya untuk menyelesaikan mandinya, keluar benda berwarna putih yang memenuhi ruangan tersebut menjadi harum kasturi. Subhanallah! Benar ini adalah bau kasturi. Kami bertakbir dan berdzikir kepada Allah sehingga anakku yang merupakan sahabat si mayit menangis melihatnya.

Kemudian aku bertanya kepada bibi si mayit tentang keponakannya, bagaimana keadaannya semasa hidup? Ia menjawab, "Sejak mendekati usia baligh, ia tidak pernah meninggalkan sebuah kewajiban, tidak pernah melihat film, sinetron dan musik. Sejak usia tiga belas tahun, ia sudah mulai puasa senin-kamis dan ia pernah berniat secara sosial membantu memandikan mayat. Tetapi ia terlebih dahulu dimandikan sebelum ia memandikan orang lain. Para guru dan teman-temannya mengenang ketakwaannya, akhlaknya dan pergaulannya yang banyak berpengaruh terhadap teman-temannya baik ketika masih hidup maupun setelah meninggal."

Aku katakan, "Benarlah perkataan syair,
Detak jantung seseorang berkata kepadanya,
bahwa kehidupan hanya beberapa menit dan detik saja.
Camkanlah itu dalam dirimu sebelum engkau mati,
Seorang insan mengingat umurnya yang hanya sedetik."


Dan perkataan yang lebih baik dari itu adalah firman Allah SWT,
"Dan Allah telah menjadikanku selalu berbakti di manapun aku berada." (Maryam: 31).

Lalu ummu Ahmad melanjutkan ceritanya, Ada lagi jenazah seorang gadis yang berumur 17 tahun. Para wanita memandikannya dan kami melihat jasadnya berwarna putih lalu beberapa saat kemudian berubah menjadi hitam seperti kegelapan malam. Hanya Allah-lah yang mengetahui tentang keadaannya. Kami tidak sanggup bertanya kepada keluarganya, agar kami dapat menyembunyikan aib jenazah. Hanya Allah-lah yang Maha Tahu.

Kita bermohon kepada Allah keselamatan dan kesehatan.

Wahai saudariku apakah dua kisah ini dapat engkau jadikan sebagai pelajaran? Apakah engkau akan mengikuti jejak orang shalih ataukah engkau menjadikan wanita-wanita fasik dan durhaka sebagai tauladan? Kematian bagaimanakah yang engkau pilih?

Kisah ini dicantumkan dalam Majalah al-Yamamah edisi 1557 tanggal 14 Shafar 1320 H.

(SUMBER: SERIAL KISAH TELADAN karya Muhammad bin Shalih al-Qahthani)

Free Template Blogger collection template Hot Deals BERITA_wongANteng SEO theproperty-developer

Hikmah Ta'adud

 Syaikh Ubaid bin Abdillah Al-Jabiri Hafizahullah : “Menolak poligami bukan pembatal keislaman, namun ini merupakan kesalahan dan bahaya. Pada hakikatnya ini kembali kepada keyakinannya, namun dikhuatiri orang yang membenci poligami ini terjatuh dalam kekafiran kerana membenci salah satu syi’ar Allah sebab perkara ini ...telah ditetapkan berdasarkan Al-Kitab, As Sunnah dan Ijma’.”

Asy Syaikh Ubaid bin Abdillah Al-Jabiri Hafizahulloh :telah kami jelaskan bahwa hukum asal dari pernikahan adalah poligami dan yang berpendapat wajibnya memiliki sisi kebenaran dalil kerana asal perintah hukumnya wajib. Maka haram atas mereka untuk mengingkari syi’ar ini. Dan kami nasihatkan kepada kaum muslimin agar ...hendaklah mereka berpoligami kerana poligami ini memiliki hikmah dan kemaslahatan banyak.

Free Template Blogger collection template Hot Deals BERITA_wongANteng SEO theproperty-developer

Sebab-sebab Lapangnya Dada

Oleh Ibnu Qayyim Al-Jauziyah

Sebab-sebab yang melapangkan dada dan kesempurnaannya pada diri Rasulullah sallallahu alaihi wasallam:
1. Sebab agung yang melapangkan dada adalah tauhid. Sifat lapang dada seseorang sangat tergantung sejauh mana kesempurnaan kekuatan, dan pertambahan tauhid dalam dirinya. Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:
أَفَمَنْ شَرَحَ اللهُ صَدْرَهُ لِلإسْلامِ فَهُوَ عَلَى نُورٍ مِنْ رَبِّهِ
“Maka apakah orang-orang yang dilapangkan Allah hatinya untuk (menerima) agama Islam lalu ia mendapat cahaya dari Rabbnya.” (QS Az-Zumar : 22)
Dan firman-Nya:
فَمَنْ يُرِدِ اللَّهُ أَنْ يَهدِيَهُ يَشْرَحْ صَدْرَهُ لِلإسْلامِ وَمَنْ يُرِدْ أَنْ يُضِلَّهُ يَجْعَلْ صَدْرَهُ ضَيِّقًا حَرَجًا كَأَنَّمَا يَصَّعَّدُ فِي السَّمَاءِ
“Barang siapa yang Allah menghendaki akan memberikan kepadanya petunjuk, niscaya Dia melapangkan dadanya untuk (memeluk agama) Islam. Dan barang siapa yang dikehendaki Allah kesesatannya, niscaya Allah menjadikan dadanya sesak lagi sempit, seolah-olah ia sedang mendaki ke langit.” (QS Al-An’an : 125)
Hidayah dan tauhid merupakan sebab terbesar yang melapangkan dada. Syirik dan kesesatan adalah seab paling utama yang menyesakkan dan menyempitkan dada.
2. Di antara sebab yang melapangkan dada adalah cahaya yang dicampakkan Allah dalam hati seorang hamba, yaitu cahaya keimanan. Sesungghuhnya ia melapangkan dada dan meluaskannya serta menggemberikan hati. Jika cahaya ini hilang dari hati seorang hamba maka hatinya jadi sempit dan sesak. Jadilah ia berada pada penjara sangat sempit dan sulit.
At-Tirmidzi meriwayatkan dalam kitabnya Al-Jami’, dari Nabi sallallahu alaihi wasallam bahwa beliau bersabda: “Apabila cahaya masuk ke hati, maka hati akan terbuka dan lapang.” Mereka bertanya, “Apakah tanda-tandanya wahai Rasulullah?” Beliau sallallahu alaihi wasallam bersabda: “Kembali kepada tempat abadi, menyingkir dari tempat tipu daya, dan beriap untuk mati sebelum datang waktunya.”[1]
Seseorang akan mendapatkan lapang dada seseuai dengan apa yang didapatkannya dengan cahaya itu. Demikian juga cahaya indrawi dan kegelapan indrawi. Salah satunya melapangkan dada dan satunya lagi menyempitkannya.
3. Perkara lain yang melapangkan dada adalah ilmu. Sesungguhnya ilmu dapat melapangkan dada dan meluaskannya hingga lebih luas daripada dunia. Sedang kebodohannya menngakibatkan kesempitan, keterbatasan dan kungkungan. Setiap kali ilmu seseorang bertambah maka dadanya semakin lapang dan luas. Namun hal ini tidak berlaku bagi semua ilmu. Akan tetapi hanya ilmu yang diwarisi dari Rasulullah sallallahu alaihi wasallam, yaitu ilmu yang bermanfaat. Orang-orang yang memilikinya adalah manusia-manusia paling lapang dada, sangat terbuka hati, lebih bagus akhlak dan terbaik dalam kehidupan.
4. Faktor lain yang melapangkan dada adalah kembali kepada Allah Subhanahu Wata’ala, mencintai-Nya dengan sepenuh hati, menghadap-Nya, merasa nikmat dengan beribadah kepada-Nya. Tidak ada yang lebih melapangkan dada seseorang daripada hal itu. Hingga terkadang seseorang berkara: “Jika aku berada di surga dalam kondisi seperti ini maka sungguh aku berada dalam kehidupan yang baik.” Kecintaan memiliki pengauh sangat ajaib dalam melapangkan dada, mensucikan jiwa, dan menenangkan hati. Tak akan mengetahuinya kecuali mereka yang pernah merasakannya. Setiap kali kecintaan menguat dan keras, maka dada semakin terbuka dan lapang. Dada yang demikian tidak menjadi sempit kecuali bila melihat mereka yang lalai dan jauh dari hal tersebut. Melihat mereka menyakitkan mata baginya dan berinteraksi dengan mereka adalah demam bagi ruhnya.
Di antara perkara paling besar yang menyempitkan dada adalah berpaling dari Allah Subhanahu Wata’ala, mengaitkan hati dengan selain-Nya, lalai berdzikir pada-Nya, dan mencintai selain-Nya. Sebab siapa yang mencintai sesuatu selain Allah niscaya akan disiksa dengan hal itu. Hatinya dipenjara dalam mencintai perkara tersebut. Tidak ada di permukaan bumi ini yang lebih sengsara, lebih keras perasaan, lebih menderita dalam kehidupan, dan lebih lelah hati darinya.
Inilah dua kecintaan, kecintaan yang merupakan surga dunia, kegembiraan jiwa, kelezatan hati, kenikmatan ruh, makanan dan obatnya, bahkan kehidupan dan penyejuk matanya, ia adalah kecintaan kepada Allah semata dengan sepenuh hati, tarikan kekuatan kecenderungan, kehendak, dan kecintaan semua kepada-Nya. Dan kecintaan yang merupakan azab bagi ruh, kegundahan jiwa, penjara hati, kesempitan dada, dan sebab sakit, sengsara dan kelelahan, ia adalah kecintaan kepada selain Allah Subhanahu Wata’ala.
5. Di antara sebab yang melapangkan dada adalah senantiasa berdzikir dalam segala keadaan dan di setiap tempat. Dzikir memiliki pengaruh ajaib dalam melapangkan dada dan kenikmatan hati. Sementara kelalaian memiliki pula pengaruh ajaib dalam menyempitkan hati, mengungkung dan menyiksanya.
6. Di antaranya pula adalah berbuat baik kepada manusia, memberi manfaat bagi mereka dengan segala yang mungkin dilakukan, baik berupa harta, kedudukan, manfaat fisik, dan segala jenis kebaikan. Orang dermawan dan senang berbuat baik adalah manusia paling lapang dadanya, yang paling suci jiwanya, dan paling nikmat hatinya. Sedangkan orang yang kikir yang tidak ada padanya kebaikan adalah manusia paling sempit dadanya, paling sengsara kehidupannya, dan paling besar kegundahan dan kegelisahannya.
Rasulullah telah membuat perumpamaan dalam hadits shahih tentang orang bakhil dan yang dermawan sama seperti dua laki-laki yang memiliki dua pakaian terbuat dari besi. Setiap kali yang dermawan berkeinginan mengeluarkan sedekah, maka bajunya meluas dan lapang, hingga pakaiannya terseret dan menghapus jejak kakinya. Dan setiap kali si bakhil menahan sedekah, maka setiap rantai baju itu menempel pada tempatnya. Dan bajunya tidak menjadi besar baginya.[2] Inilah perumpamaan sifat lapang dada orang mukmin yang bersedekah serta keluasan hatinya, dan perumpamaan sempitnya hati orang bakhil dan kungkungan hatinya.
7. Di antara sebab yang melapangkan dada adalah keberanian. Sesungguhnya pemberani memiliki dada lapang, jiwa besar, dan hati luas. Adapun pengecut adalah manusia paling sempit dadanya seta paling terbelenggu hatinya. Tidak ada kesenangan serta kegembiraan baginya dan tidak ada pula kelezatan. Tak ada kenikmakatan untuknya kecuali jenis kenikmatan yang dirasakan oleh hewan. Adapun kegembiraan ruh, kelezatan, kenikmatan, dan kecerahannya, diharamkan atas setiap pengecut , sebagaimana diharamkan juga atas semua orang bakhil, dan setiap orang yang berpaling dari Allah Subhanahu wa Ta’ala, lalai dari dzikir pada-Nya, bodoh tentang Allah, nama-nama, sifat-sifat dan agama-Nya, serta mereka yang emnambatkan hati pada selain-Nya.
Kenikmatan dan kegembiraan ini kelak di alam kubur akan menjadi taman dan surga. Sementara kesempitan dan keterkungkungan hati kelak di alam kubur akan menjadi siksaan dan penjara. Keadaan seorang hamba dalam kubur seperti keadaan hati dalam dada, nikmat atau azab dan penjara atau merdeka. Tidak ada pengaruh pada kecerahan hati si bakhil karena sesuatu yang terjadi secara tiba-tiba. Dan tidak ada pula pengaruh pada kesempitan hati si dermawan karena factor tersebut. Sebab, hal-hal yang bersifat sementara seperti ini akan segera sirna bila penyebabnya telah hilang. Sesungguhnya yang dijadikan patokan adalah sifat yang melazimi hati dan melahirkan rasa lapang atau mengungkungnya. Inilah yang dijadikan timbangan. Wallahu a’lam.
8. Termasuk perkara yang melapangkan dada –bahkan paling menentukan- adalah mengeluarkan kotoran hati berupa sifat-sifat tercela yang mengakibatkan kesempitan hati dan siksaannya. Menghalangi antara hati dengan kesembuhannya. Sesungguhnya seseorang bila melakukan sebab-sebab yang melapangkan dadanya, dan tidak mengeluarkan sifat-sifat tercela itu dari hatinya, maka ia tidak mendapatkan faidah memuaskan dari dadanya yang lapang, bahkan ia hanya akan memiliki dua perkara saling kontradiksi dalam hatinya, perkara paling dominan itulah yang menguasainya.
9. Sebab-sebab lain yang juga melapangkan dada adalah meninggalkan kelebihan melihat, berbicara, mendengar, bergaul, makan, dan tidur. Sebab berlebihan dalam hal-hal ini akan melahirkan rasa sakit, risau, dan gelisah dalam hati. Ia akan membatasi hati, mengungkungnya, menyempitkannya, dan menyiksanya. Bahkan kebanyakan siksaan dunia dan akhirat berasal darinya. Demi yang tidak ada sembahan sesungguhnya selain Dia, alangkah sempitnya dada orang yang mengambil bagian dari setiap enakit ini, alangkah sengsara kehidupannya, alangkah buruk keadaaannya, dan alangkah keras belenggu hatinya. Dan demi Dzat Yang Tidak ada sembahan yang haq selain Dia, alangkah nikmat kehidupan mengambil bagian dari sfiat-sifat terpuji itu, obsesinya terarah padanya, dan mengitari di sekitarnya. Bagi orang seperti ini bagian yang sangat besar dari apa yang difirmankan Allah Subhanahu wa Ta’ala, “Sesungguhnya orang-orang yang baik berada dalam kenikmatan.” (QS Al-Infitar : 13). Sedangkan bagi yang sebaliknya bagian sangat besar dari apa yang dirifmankan Allah Subhanahu wa Ta’ala: “Sesungguhnya orang-orang fajir berada dalam neraka.” (QS Al-Infitar : 14). Antara keduanya terdapat tingkatan-tingkatan berbeda-beda. Tak ada yang mengetahuinya selain Allah tabaraka wata’ala.
Maksudnya bahwa Rasulullah sallallahu alaihi wasallam adalah manusia paling sempurna dalam segala sifat yang melahrikan lapang dada, keluasan hati, kesejukan mata dan kehidupan ruh. Beliau adalah manusia oaling sempurna dalam sifat lapang dan kehidupan ini serta kesejukan mata. Ditambah lagi dengan apa yang ada padanya berupa sifat lapang yang bersifat indrawi. Lalu manusia yang sempurna yang dalam mengikuti beliau sallallahu alaihi wasallam, maka dialah orang yang paling sempurna merasakan lapang dada, kelezatan dan kesejukan mata. Sejauh mana seorqang hamba mengikuti Nabi sallallahu alaihi wasallam, maka sejauh itu pula yang akan didapatkannya dari rasa lapang, kesejukan mata, dan kelezatan ruhnya. Beliau sallallahu alaihi wasallam berada di atas puncak kesempurnaan sifat lapang dada, ketinggian nama, pelepasan beban dosa. Adapun bagian umatnya dari hal-hal itu sesuai dengan sikap mereka dalam mengikuti beliau sallallahu alaihi wasallam. Wallahu a’alm.
Demikian pula bagian para pengikut beliau sallallahu alaihi wasallam dari pemeliharaan Allah subhanahu wata’ala, perlindungan-Nya, pembelaan-Nya, dan penggolongannya untuk mereka, sesuai dengan sikap mereka dalam mengikuti Nabi sallallahu alaihi wasallam. Ada yang mengambil bagian sedikit, dan ada pula yang mengambil bagian yang banyak. Barangsiapa mendapatkan kebaikan, hendaknya memuji Allah. Dan barangsiapa mendaptkan selain itu, janganlah mencela selain dirinya sendiri.[3]
_____________________
Catatan kaki
[1] At Tirmidzi tidak meriwayatkan hadits ini seperti dikatakan penulis. Namun hadits ini diriwayatkan Ath-Thabari, 8/27 dari hadits Ibnu Mas’ud. Disebutkan juga oleh As-Suyuthi dalam kitab Ad-Durr Al-Mantsur, 3/44, dan beliau menambah penisbatan kepada Ibnu Abi Syaibah, Ibnu Abid Dunya, Abu Asy-Syaikh, Ibnu Mardawiyah, Al-Hakim dan Al-Baihaqi di kitab Asy-Syu’ab melalui beberapa jalur. Al-Hafizh Ibnu Katsir berkata, 2/174 dan 175 setelah menyebutkannya dari Abdurrazaq, Ibnu Abi Hatim dan Ibnu Jarir: “Jalur-jalur periwayatan ini baik yang mursal maupun muttashil saling menguatkan satu sama lain.”
[2] HR Bukhari no. 3/241-242, dan HR Muslim no. 1021 dari hadits Abu Hurairah radiallahu anhu ia berkata, “Rasulullah sallallahu alaihi wasallam bersabda: “Perumpamaan orang bakhil dan berinfak sama seperti dua laki-laki yang mengenakan baju terbuat dari besi yang menutupi dada hingga ke leher mereka. Adapun yang berinfak, tidaklah ia berinfak melainkan baju itu meluas dan menutupi kulitnya hingga menutupi jari-jari tangannya dan menghapus jejak kakinya. Sedangkan si bakhil, setiap kali dia tidak mau menginfakkan sesuatu, maka menempel setiap mata rantai baju itu di tempatnya, dia berusaha meluaskannya namun tidak mau menjadi luas.”
Al-Khathabi berkata: “ini adalah perumpamaan yang disebutkan oleh Nabi sallallahu alaihi wasallam bagi bakhil dan yang bersedekah. Beliau sallallahu alaihi wasallam menyerupakan keduanya dengan dua laki-laki yang masing-masing ingin memakai baju besi untuk menutupi dirinya dari senjata musuh. Lalu baju besi itu dimasukkan dari kepala. Dan baju besi pertama kali dipakai berada di dada hingga leher sampai seseorang berhasil mengeluarkan tangannya dari lengannya. Maka orang yang berinfak sama seperti memakai baju besi yang luas. Baju itu mampu menutupi semua badannya. Sedangkan si bakhil seperti orang yang terbelenggu kedua tangannya ke lehernya. Setiap kali ia hendak memakai baju itu, tangannya semakin terjepit ke lehernya dan mencekik tenggorokannya. Maksudnya, orang yang dermawan jika ingin bersedekah maka hatinya menjadi luas dan jiwanya menjadi baik, sehingga mudah mengeluarkan sedekah. Sedangkan orang bakhil jika diceritakan tentang sedekah, maka ia menjadi kikir sehingga hatinya menyempuit dan tangannya terkungkung.”
[3] Kutipan dari hadits qudsi yang panjang diriwayatkan dalam Shahih Muslim no. 2577, dari hadits Abu Dzar radiallahu anhu, dan di dalamnya disebutkan: “Wahai hamba-hamba-Ku, sesungguhnya ia hanyalah amal-amal kamu. Aku mengumpulkannya untuk kamu , kemjudian Aku membalas kamu atasnya, barangsiapa mendapatkan kebaikan, hendaklah memuji Allah, dan barangsiapa mendapatkan selain itu, maka janganlah mencela selain dirinya sendiri.” Di antara keunikan hadits ini bahwa Imam An-Nawawi menyebutkan di akhir kitabnya Al-Adzkar dengan sanadnya hingga Abu Dzar. Dia berkata ini adalah hadits shahih kami temukan dalam Shahih Muslim dan selainnya. Para perawinya dari aku hingga Abu Dzar radiallahu anhu semuanya berasal dari Damaskus. Imam Ahmad bin Hambal berkata: “Tidak ada bagi penduduk Syam hadits yang lebih mulia daripada hadits ini. Dan konon Abu Idris Al-Khaulani (perawi hadits itu dari Abu Dzar) bila menceritakan hadits tersebut maka ia berlutut dengan kedua lututnya.”
***Disalin dari terjemahan kitab Zadul Ma’ad jilid 2 karya Al-Imam Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah, muhaqqiq: Abdul Qadir Al-Arna’uth dan Syubaib Al-Arna’uth, penerbit Griya Ilmu.

Free Template Blogger collection template Hot Deals BERITA_wongANteng SEO theproperty-developer

Template Copy by Blogger Templates | BERITA_wongANteng |MASTER SEO |FREE BLOG TEMPLATES