Orang Mukmin Tercipta Penuh Coba

Syaikh Ali bin Hasan bin Ali bin Abdulhamid Al-Halaby

Terdapat riwayat yang shahih bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda :
"Artinya : Sesungguhnya seorang mukmin tercipta dalam keadaan Mufattan (penuh cobaan), Tawwab (senang bertaubat), dan Nassaa' (suka lupa), (tetapi) apabila diingatkan ia segera ingat".
(Silsilah Hadits Shahih No. 2276).
Hadist ini merupakan hadits yang menjelaskan sifat-sifat orang mukmin, sifat-sifat yang senantiasa lengket dan menyatu dengan diri mereka, tiada pernah lepas hingga seolah-olah pakaian yang selalu menempel pada tubuh mereka dan tidak pernah terjauhkan dari mereka.
Mufattan
Artinya : Orang yang diuji (diberi cobaan) dan banyak ditimpa fitnah. Maksudnya : (orang mukmin) adalah orang yang waktu demi waktu selalu diuji oleh Allah dengan balaa' (bencana) dan dosa-dosa. (Faid-Qadir 5/491).

Dalam hal ini fitnah (cobaan) itu akan meningkatkan keimanannya, memperkuat keyakinannya dan akan mendorong semangatnya untuk terus menerus berhubungan dengan Allah Subhanahu wa Ta'ala, sebab dengan kelemahan dirinya, ia menjadi tahu betapa Maha Kuat dan Maha Perkasanya Allah, Rabb-nya.
Menurut sebuah riwayat dalam shahih Bukhari dan shahih Muslim, sesungguhnya Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda :
"Artinya : Perumpamaan orang mukmin ibarat sebatang pokok yang lentur diombang-ambing angin, kadang hembusan angin merobohkannya, dan kadang-kadang meluruskannya kembali. Demikianlah keadaannya sampai ajalnya datang. Sedangkan perumpamaan seorang munafik, ibarat sebatang pokok yang kaku, tidak bergeming oleh terpaan apapun hingga (ketika) tumbang, tumbangnya sekaligus".
(Bukhari : Kitab Al-Mardha, Bab I, Hadist No. 5643, Muslim No. 7023, 7024, 7025, 7026, 7027).
Ya, demikianlah sifat seorang mukmin dengan keimanannya yang benar, dengan tauhidnya yang bersih dan dengan sikap iltizam (komitment)nya yang sungguh-sungguh.
Tawaab Nasiyy
"Artinya : Orang yang bertaubat kemudian lupa, kemudian ingat, kemudian bertaubat". (Faid-Al Qadir 5/491).

Seorang mukmin dengan taubatnya, berarti telah mewujudkan makna salah satu sifat Allah Subhanahu wa Ta'ala, yaitu sifat yang terkandung dalam nama-Nya : Al-Ghaffar (Dzat yang Maha Pengampun). Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman :
"Artinya : Dan sesungguhnya Aku Maha Pengampun bagi orang-orang yang bertaubat, beriman dan beramal shalih, kemudian tetap di jalan yang benar". (Thaha : 82).
Apabila Diingatkan, Ia Segera Ingat.
Artinya : Bila diingatkan tentang ketaatan, ia segera bergegas melompat kepadanya, bila diingatkan tentang kemaksiatan, ia segera bertaubat daripadanya, bila diingatkan tentang kebenaran, ia segera melaksanakannya, dan bila diingatkan tentang kesalahan ia segera menjauhi dan meninggalkannya.
Ia tidak sombong, tidak besar kepala, tidak congkak dan tidak tinggi hati, tetapi ia rendah hati kepada saudara-saudaranya, lemah lembut kepada sahabat-sahabatnya dan ramah tamah kepada teman-temannya, sebab ia tahu inilah jalan Ahlul Haq (pengikut kebenaran) dan jalannya kaum mukminin yang shalihin.
Terhadap dirinya sendiri ia berbatin jujur serta berpenampilan luhur, sedangkan terhadap orang lain ia berperasaan lembut dan berahlak mulia, bersuri tauladan kepada insan teladan paling sempurna yaitu Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, yang telah diberi wasiat oleh Rabb-nya dengan firman-Nya :
"Artinya : Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka .....".
(Ali Imran : 159).
Inilah sifat seorang mukmin. Ini pula jalan hidup serta manhaj perilakunya.

Tulisan ini diterjemahkan dari Majalah Al-Ashalah edisi 15, 16 th III -15 Dzul Qa'dah 1415H, dan dimuat di Majalah As-Sunnah edisi 07/th III/1419-1998. 


Free Template Blogger collection template Hot Deals BERITA_wongANteng SEO theproperty-developer

MENTALAK ISTRI SEDANG MABUK ATAU MARAH YANG SANGAT

Oleh
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin


Pertanyaan
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin ditanya : Seseorang telah mentalak istrinya sebanyak tiga kali dalam waktu yang berbeda, talak pertama jatuh pada saat sedang mabuk, benci dan marah yang sangat. Adapun talak yang kedua dan ketiga jatuh sedang dalam keadaan sangat marah. Apakah talak tersebut dianggap jatuh padahal masing-masing masih saling mencintai ? Dan apakah sudah tidak ada kesempatan untuk rujuk lagi ?

Jawaban
Orang tersebut mengatakan bahwa dia telah menjatuhkan talak kepada istrinya sebanyak tiga kali, talak pertama jatuh pada saat sedang mabuk dan marah yang tidak terkendali. Adapun talak kedua dan ketiga jatuh dalam keadaan sangat marah, apakah istri dianggap telah tertalak tiga. Saya balik bertanya : “Apakah dia berniat mentalaknya atau tidak ?”.

Orang yang mentalak istri dalam keadaan mabuk, para ulama berbeda pendapat, sebagian mereka mengatakan bahwa talak orang yang sedang mabuk tidak dianggap jatuh sebab dilakukan dalam keadaan tidak sadar. Dan sebagiannya mengatakan bahwa talaknya dianggap jatuh sebagai sanksi atas kejahatannya.

Menurut saya, pendapat yang kuat adalah talak dalam keadaan mabuk tidak dianggap jatuh sebab orang mabuk tidak sempurna akalnya dan tidak sadar terhadap apa yang diucapkannya. Adapun sanksi tersebut bukan pada tempatnya sebab sanksi orang mabuk adalah didera, jika mengulanginya lagi terus hingga empat kalinya dibunuh, berdasarkan hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

“Artinya : Barangsiapa yang minum khamar, maka deralah, jika minum lagi maka deralah dan jika minum lagi maka deralah dan kemudian jika minum lagi maka bunuhlah”.

Di dalam hadits diatas disebutkan bahwa orang yang mengulangi mabuk ke empat kalinya maka harus dibunuh. Para ulama berbeda pendapat tentang hadits di atas, apakah mansukh (dihapus hukumnya) atau tidak ? Sebagian ulama ada yang menyatakan bahwa hadits tersebut telah mansukh dan sebagian yang lainnya menyatakan tidak mansukh akan tetapi diberi batasan khusus.

Menurut saya, hadits ini tidak mansukh akan tetapi diberi batasan, artinya seseorang tidak bisa berhenti dari minum khamar kecuali dengan dibunuh, maka ia harus dibunuh. Dan apabila bisa berhenti tanpa harus dibunuh, maka tidak perlu harus dikenakan sanksi pemubunuhan. Inilah pendapat yang dipilih oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah. Di antara ulama ada yang berpendapat bahwa pemabuk harus dibunuh secara mutlak, artinya kapan saja seseorang telah didera sebanyak tiga kali akibat minum khamar, dan jika tertangkap yang keempat kalinya, maka mutlaq dibunuh tanpa ada alternatif lain. Pendapat ini, adalah pendapat madzhab Dhahiri seperti Ibnu Hazm dan para penganutnya.

Jumhur ulama berpendapat bahwa hadits tersebut mansukh. Akan tetapi kita tidak dapat mengatakan bahwa suatu hadits mansukh kecuali telah memenuhi dua syarat.

Pertama : Jika kedua dalil tidak mungkin bisa disatukan karena makna keduanya saling berlawanan.

Kedua : Dapat diketahui bahwa dalil nasikh (yang menghapus hukum) datang lebih akhir daripada dalil yang mansukh. Apabila ada kemungkinan dua dalil dapat disatukan, maka harus diambil dua-duanya demi menghindari penolakan dari salah satu dalil tersebut, dan jika tidak mungkin melakukan naskh maka sebaiknya berhenti untuk tidak menggunakan dua dalil tersebut, sebab menerapkan naskh dalam hal ini tidak lebih baik daripada meniadakan keduanya.

Adapun talak kedua yang jatuh pada saat sedang marah memiliki hukum yang berbeda-beda sesuai dengan tingkat kemarahan, sebab marah memiliki tiga tingkatan : biasa, sedang dan puncak kemarahan.
Pertama : Marah biasa yaitu seseorang masih dapat mengendalikan dirinya, akalnya dan ucapannya. Artinya ucapan tersebut masih dianggap sebagai tindakan yang wajar sebagaimana orang yang tidak marah.

Kedua : Marah sedang yang tidak sampai pada puncak kemarahan akan tetapi seseorang tidak kuasa mengendalikan diri sehingga terucap dari mulutnya ucapan talak.

Ketiga : Puncak kemarahan sehingga seseorang sama sekali tidak sadar terhadap sesuatu yang diucapkannya dan tidak tahu sedang berada dimana. Ini mungkin terjadi pada seseorang yang mempunyai perasaan yang sensitif sehingga tatkala marah tidak sadar apa yang diucapkan dan tidak bisa mengendalikan dirinya serta tidak tahu lagi berada dimana sehingga tidak bisa mengenal istri dan orang yang berada di sekitarnya.

Tingkatan marah yang pertama, dianggap seperti orang marah pada umumnya, dan masih terkena beban hukum.

Tingkatan marah yang terakhir seluruh ulama sepakat bahwa orang yang marah sangat yang kehilangan kesadaran dan ingatan, maka ucapannya dianggap seperti ucapan orang gila dan tindakannya dianggap sia-sia karena tidak memiliki keseimbangan lagi.

Adapun tingkatan marah yang kedua yaitu seseorang tahu apa yang diucapkan akan tetapi tidak kuasa menahan diri dan seakan-akan faktor luar yang memaksa untuk mengucapkan kalimat talak, maka para ulama berbeda pendapat dalam masalah ini. Dan pendapat yang benar bahwa talak dalam keadaan seperti itu tidak dianggap jatuh berdasarkan hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

“Artinya : Talak tidak dianggap jatuh karena ighlaq (dipaksa atau marah)..”

Jika talak dianggap tidak jatuh karena dipaksa, begitu pula dalam keadaan marah, sebab orang yang marah seperti itu seakan-akan ada faktor luar yang memaksanya untuk mengucapkan talak akan tetapi paksaan tersebut muncul dari dalam.

[Durus wa Fatawa Haramul Makkiy, Syaikh Utsaimin, juz 3/258-260]

[Disalin dari kitab Al-Fatawa Al-Jami’ah Lil Mar’atil Muslimah, Edisi Indonesia Fatwa-Fatwa Tentang Wanita-2, Penyusun Amin bin Yahya Al-Wazan, Penerjemah Zaenal Abidin Syamsudin Lc, Penerbit Darul Haq]

Free Template Blogger collection template Hot Deals BERITA_wongANteng SEO theproperty-developer

Memakai Pakaian Sempit Di Depan Wanita Lain Dan Memakai Pakaian Pendek Di Depan Anak-Anak

MEMAKAI PAKAIAN SEMPIT DI DEPAN WANITA LAIN

Oleh
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin

Pertanyaan
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin ditanya : Apakah wanita yang memakai pakaian yang sempit di depan wanita-wanita lain termasuk kategori yang disebut di dalam hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam : “ Wanita-wanita yang berpakaian namun telanjang…” sampai akhir hadits.

Jawaban
Tidak disangsikan lagi bahwa wanita tidak boleh memakai pakaian sempit yang mendatangkan fitnah bagi dirinya, demikian itu tidak boleh kecuali kepada suaminya saja. Adapun kepada yang lainnya tidak boleh walaupun di hadapan wanita lainnya. Apabila mereka melihat ia berpakaian demikian, maka pasti akan mengikutinya, sedangkan wanita itu diwajibkan untuk menutup auratnya dengan pakaian yang menutupi dan menghalangi pandangan setiap orang, kecuali pada suaminya, demikian pula wajib ia menutup auratnya di depan wanita-wanita lain sebagaimana di depan laki-laki. Kecuali apa yang sudah terbiasa dibuka di kalangan para wanita, seperti muka, kedua tangan dan kaki, yaitu bagian-bagian yang sering dibuka karena adanya keperluan.

[Durus wa Fatawa Haramil Maki, Syaikh Ibnu Utsaimin. 3/264]

HUKUM MENGENAKAN PAKAIAN YANG BERLENGAN PENDEK TERBUKA DAN SEMPIT

Pertanyaan
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin ditanya : Apa hukum wanita yang mengenakan pakaian yang berlengan pendek, di atas pergelangan tangan, dan terbuka di bagian leher, punggung atau betisnya di hadapan wanita lain? Dan apa hukum mengenakan pakaian yang sempit dan tipis di hadapan wanita lain tanpa ada laki-laki? Apa hukum mengenakan pakaian pendek hingga pertengahan betis?

Jawaban
Menurut saya tidak boleh bagi wanita mengenakan pakaian jenis ini meski di hadapan wanita, karena tergolong dalam hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam

“Artinya : Ada dua golongan ahli Neraka dari umatku, saya tidak melihat mereka sebelumnya; wanita-wanita yang berpakaian tapi telanjang, sesat dan menyesatkan, kepala mereka seperti punuk unta yang miring. Mereka tidak akan masuk surga dan tidak bisa mencium baunya. Dan para laki-laki yang memegang cambuk seperti ekor sapi yang dipakai untuk mencambuki manusia”.

Para ulama mengatakan, arti berpakaian tapi telanjang adalah bahwa para wanita ini mengenakan pakaian yang sempit, tipis atau pendek.

Petunjuk dari para isteri-isteri sahabat dahulu, bahwa mereka mengenakan pakaian yang sampai ke mata kaki, hingga pergelangan tangan. Kecuali apabila akan keluar, maka mereka mengenakan pakaian yang memanjang hingga lebih rendah dari sebelumnya dan lebih panjang dari pergelangan, atau kadang mengenakan sarung tangan, berdasarkan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa para wanita dilarang untuk mengenakan sarung tangan ketika sedang ihram.ini menunjukkan bahwa mengenakan sarung tangan sudah menjadi kebiasaan pada saat itu. Kalau tidak, maka tidak perlu lagi ada larangan untuk mengenakannya saat ihram (untuk haji dan umrah).

[Fatawa Tertulis yang ditandatangani oleh Syaikh Ibnu Utsaimin]

MENGENAKAN PAKAIAN PENDEK DI HADAPAN ANAK-ANAK LAKI-LAKI

Oleh
Syaikh Shalih bin Fauzan Al-Fauzan

Pertanyaan
Syaikh Shalih bin Fauzan Al-Fauzan ditanya : Saya mempunyai empat anak laki-laki dan saya mengenakan pakaian pendek di hadapan mereka. Apa hukum perbuatan saya tersebut ?

Jawaban
Tidak diperbolehkan bagi wanita mengenakan pakaian pendek di hadapan anak-anaknya atau para mahramnya, sebagaimana tidak diperbolehkan baginya untuk menampakkan sesuatu dari tubuhnya kecuali yang sudah biasa untuk ditampakkan di hadapan mereka yang tidak menimbulkan fitnah. Ia hanya diperbolehkan mengenakan pakaian pendek di hadapan suaminya saja.

[Kitab Al-Muntaqa min Fatawas Syaikh Shalih Al-Fauzan, juz 3 hal. 308]

[Disalin dari kitab Al-Fatawa Al-Jami'ah Lil Maratil Muslimah, edisi Indonesia Fatwa-Fatwa Tentang Wanita, Penyusun Amin bin Yahya Al-Wazan, Penerjemah Zaenal Abidin Syamsuddin, Penerbit Darul Haq]

Free Template Blogger collection template Hot Deals BERITA_wongANteng SEO theproperty-developer

PEMBAGIAN HARTA WARIS

Oleh
Ustadz Aunur Rofiq bin Ghufron
Bagian Pertama dari Dua Tulisan 1/2




Problema keluarga sehubungan dengan pembagian harta waris atau pusaka, akan bertambah rumit manakala diantara para ahli waris ingin menguasai harta peninggalan, sehingga berdampak merugikan orang lain. Tak ayal, permusuhan antara satu dengan lainnya sulit dipadamkan. Akhirnya solusi yang ditawarkan dalam pembagian waris tersebut ialah dengan dibagi sama rata. Atau ada juga yang menyelesaikannya di meja pengadilan dan upaya lainnya.

Sebagai kaum Muslimin, sesungguhnya untuk menyelesaikan permasalahan waris ini, sehingga persaudaraan di dalam keluarga tetap terjaga dengan baik, maka tidak ada jalan lain kecuali kembali kepada Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dari sinilah penulis ingin menyampaikan perkara ini. Meski singkat, kami berharap semoga bermanfaat.

SIAPAKAH YANG BERWENANG MEMBAGI HARTA WARIS?
Adapun yang berwenang membagi harta waris atau yang menentukan bagiannya yang berhak mendapatkan dan yang tidak, bukanlah orang tua anak, keluarga atau orang lain, tetapi Allah Subhanahu wa Ta’ala, karena Dia-lah yang menciptakan manusia, dan yang berhak mengatur kebaikan hambaNya.

“Artinya : Allah mensyariatkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu, bahagian seorang anak lelaki sama dengan bahagian dua orang anak perempuan…”[An-Nisa : 11]

“Artinya : Mereka meminta fatwa kepadamu (tentang kalalah). Katakanlah : “Allah memberi fatwa kepadamu tentang kalalah, (yaitu) jika seorang meninggal dunia, dan ia tidak mempunyai anak dan mempunyai saudara perempuan…” [An-Nisa : 176]

Sebab turun ayat ini, sebagaimana diceritakan oleh sahabat Jabir bin Abdullah Radhiyallahu ‘anhu bahwa dia bertanya kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam : “Wahai Rasulullah, apa yang harus aku lakukan dengan harta yang kutinggalkan ini”? Lalu turunlah ayat An-Nisa ayat 11. Lihat Fathul Baari 8/91, Shahih Muslim 3/1235, An-Nasa’i Fil Kubra 6/320

Jabir bin Abdullah Radhiyallahu ‘anhu berkata, datang isteri Sa’ad bin Ar-Rabi’ kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan membawa dua putri Sa’ad. Dia (isteri Sa’ad) bertanya :”Wahai Rasulullah, ini dua putri Sa’ad bin Ar-Rabi. Ayahnya telah meninggal dunia ikut perang bersamamu pada waktu perang Uhud, sedangkan pamannya mengambil semua hartanya, dan tidak sedikit pun menyisakan untuk dua putrinya. Keduanya belum menikah….”. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Allahlah yang akan memutuskan perkara ini”. Lalu turunlah ayat waris.

Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam memanggil paman anak ini, sambil bersabda : “Bagikan kepada dua putri Sa’ad dua pertiga bagian, dan ibunya seperdelapan Sedangkan sisanya untuk engkau”[Hadits Riwayat Ahmad, 3/352, Abu Dawud 3/314, Tuhwatul Ahwadzi 6/267, dan Ibnu Majah 2/908,Al-Hakim 4/333,Al-Baihaqi 6/229. Dihasankan oleh Al-Albani. Lihat Irwa 6/122]

Berdasarkan keterangan diatas jelaslah, bahwa yang berwenang dan berhak membagi waris, tidak lain hanyalah Allah Subhanahu wa Ta’ala. Bahkan Allah mempertegas dengan firmanNya : “Ini adalah ketetapan dari Allah”. Dan firmanNya : “Itu adalah ketentuan Allah”. Lihat surat An-Nisa ayat 11,13, dan 176.

Ketentuan Allah Subhanahu wa Ta’ala adalah sangat tepat dan satu-satunya cara untuk menanggulangi problema keluarga pada waktu keluarga meninggal dunia, khususnya dalam bidang pembagian harta waris, karena pembagian dari Allah Subhanahu wa Ta’ala pasti adil. Dan pembagiannya sudah jelas yang berhak menerimanya..Oleh sebab itu, mempelajari ilmu fara’idh atau pembagian harta pusaka merupakan hal yang sangat penting untuk menyelesaikan perselisihan dan permusuhan di antara keluarga, sehingga selamat dari memakan harta yang haram.

Berikutnya, Allah Subhanahu wa Ta’ala menentukan pembagian harta waris ini untuk kaum laki-laki dan perempuan. Allah berfirman.

“Artinya : Bagi laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu-bapak dan kerabatnya, dan bagi wanita ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan ibu-bapak dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut bahagian yang telah ditetapkan” [An-Nisa : 7]

Dalil pembagian harta waris secara terperinci dapat dibaca dalam surat An-Nisa ayat 11-13 dan 176.

BARANG YANG DIANGGAP SEBAGAI PENINGGALAN HARTA WARIS
Dalam ilmu fara’idh, terdapat istilah At-Tarikah. Menurut bahasa, artinya barang peninggalan mayit. Adapun menurut istilah, ulama berbeda pendapat. Sedangkan menurut jumhur ulama ialah, semua harta atau hak secara umum yang menjadi milik si mayit. Lihat Fiqhul Islam Wa Adillatih 8/270.

Muhammad bin Abdullah At-Takruni berkata : “At-Tarikah ialah, segala sesuatu yang ditinggalkan oleh mayit, berupa harta yang ia peroleh selama hidupnya di dunia, atau hak dia yang ada pada orang lain, seperti barang yang dihutang, atau gajinya, atau yang akan diwasiatkan, atau amanatnya, atau barang yang digadaikan, atau barang baru yang diperoleh sebab terbunuhnya dia, atau kecelakaan berupa santunan ganti rugi. Lihat kitab Al-Mualim Fil Fara’idh hal.119

Adapun barang tidak berhak diwaris, diantaranya:

[1]. Peralatan tidur untuk isteri dan peralatan yang khusus bagi dirinya, atau pemberian suami kepada isterinya semasa hidupnya. Lihat Fatawa Lajnah Daimah Lil Buhuts Al-Ilmiah wal Ifta 16/429

[2]. Harta yang telah diwakafkan oleh mayit, seperti kitab dan lainnya. Lihat Fatawa Lajnah Daimah Lil Buhuts Al-Ilmiah wal Ifta 16/466

[3]. Barang yang diperoleh dengan cara haram, seperti barang curian, hendaknya dikembalikan kepada pemiliknya, atau diserahkan kepada yang berwajib. Lihat keterangannya di dalam kitab Al-Muntaqa Min Fatawa, Dr Shalih Fauzan 5/238

Semua barang peninggalan mayit bukan berarti mutlak menjadi milik ahli waris, karena ada hak lainnya yang harus diselesaikan sebelum harta peninggalan tersebut dibagi. Hak-hak yang harus diselesaikan sebelum harta waris tersebut dibagi ialah sebagai berikut.

[1]. Mu’nat Tajhiz Atau Perawatan Jenazah
Kebutuhan perawatan jenazah hingga penguburannya. Misalnya meliputi pembelian kain kafan, upah penggalian tanah, upah memandikan, bahkan perawatan selama dia sakit. Semua biaya ini diambilkan dari harta si mayit sebelum dilakukan hal lainnya. Berdasarkan perkataan Ibnu Abbas Radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Dan kafanillah dia dengan dua pakaianya” [Hadits Riwayat Bukhari 2/656, Muslim 2/866] Maksudnya, peralatan dan perawatan jenazah diambilkan dari harta si mayit.

[2]. Al-Huquq Al-Muta’aliqah Bi Ainit Tarikah Atau Hak-Hak Yang Berhubungan Dengan Harta Waris.
Misalnya barang yang digadaikan oleh mayit, hendaknya diselesaikan dengan menggunakan harta si mayit, sebelum hartanya di waris. Bahkan menurut Imam Syafi’i, Hanafi dan Malik. Didahulukan hak ini sebelum kebutuhan perawatan jenazah, karena berhubungan dengan harta si mayit. Lihat Fiqhul Islami wa Adillatihi 8/274. Tas-hil Fara’idh, 9. Dalilnya ialah, karena perkara ini termasuk hutang yang harus diselesaikan oleh si mayit sebagaimana disebutkan di dalam surat An-Nisa ayat 12, yaitu : “Sesudah dibayar hutangnya”.

[3]. Ad-Duyun Ghairu Al-Muta’aliqah Bit Tarikah Atau Hutang Si Mayit
Apabila si mayit mempunyai hutang, baik yang behubungan dengan berhutang kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, seperti membayar zakat dan kafarah, atau yang berhubungan dengan anak Adam, seperti berhutang kepada orang lain, pembayaran gaji pegawainya, barang yang dibeli belum dibayar, melunasi pembayaran, maka sebelum diwaris, harta si mayit diambil untuk melunasinya. Dalilnya ialah.

“Artinya : Sesudah dipenuhi wasiat yang mereka buat atau (dan) sesudah dibayar hutangnya dengan tidak memberi madharat (kepada ahli waris)” [An-Nisa : 12]

[4]. Tanfidzul Wasiyyah Atau Menunaikan Wasiat
Sebelum harta diwaris, hendaknya diambil untuk menunaikan wasiat si mayit, bila wasiat itu bukan untuk ahli waris, karena ada larangan hal ini, dan bukan wasiat yang mengandung unsur maksiat, karena ada larangan mentaati perintah maksiat. Wasiat ini tidak boleh melebihi sepertiga, karena merupakan larangan. Dalilnya, lihat surat An-Nisa ayat 12 yaitu : “Sesudah dipenuhi wasiat yang mereka buat”.

Jika empat perkara di ats telah ditunaikan, dan ternyata masih ada sisa hak milik si mayit, maka itu dinamakan Tarikah atau bagian bagi ahli waris yang masih hidup. Dan saat pembagian harta waris, jika ada anggota keluarga lainnya yang tidak mendapatkan harta waris ikut hadir, sebaiknya diberi sekedarnya, agar dia ikut merasa senang, sebagaimana firman Allah dalam surat An-Nisa ayat 8.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi Khusus/Tahun IX/1426H/2005M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km. 8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183]

Free Template Blogger collection template Hot Deals BERITA_wongANteng SEO theproperty-developer

BERPENAMPILAN INDAH PADA HARI RAYA


Oleh
Syaikh Ali bin Hasan bin Ali Abdul Hamid Al-Halabi Al-Atsari


Dari Ibnu Umar Radhliallahu 'anhuma ia berkata : Umar mengambil sebuah jubah dari sutera tebal yang dijual di pasar, lalu ia datang kepada Rasulullah dan berkata :

"Artinya : Ya Rasulullah, belilah jubah ini agar engkau dapat berdandan dengannya pada hari raya dan saat menerima utusan. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda kepada Umar :'Ini adalah pakaiannya orang yang tidak mendapat bahagian (di akhirat-pent)'. Maka Umar tinggal sepanjang waktu yang Allah inginkan. Kemudian Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam mengirimkan kepadanya jubah sutera. Umar menerimanya lalu mendatangi Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Ia berkata : 'Ya Rasulullah, engkau pernah mengatakan : 'Ini adalah pakaiannya orang yang tidak mendapat bahagian', dan engkau telah mengirimkan padaku jubah ini'. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda kepada Umar :'Juallah jubah ini atau engkau penuhi kebutuhanmu dengannya". [1]

Berkata Al-Allamah As-Sindi.

"Dari hadits ini diketahui bahwa berdandan (membaguskan penampilan) pada hari raya merupakan kebiasaan yang ditetapkan di antara mereka, dan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam tidak mengingkarinya, maka diketahui tetapnya kebiasaan ini". [Hasyiyah As Sindi 'alan Nasa'i 3/181].

Al-Hafidh Ibnu Hajar berkata.

"Ibnu Abi Dunya dan Al-Baihaqi telah meriwayatkan dengan isnad yang shahih yang sampai kepada Ibnu Umar bahwa Ibnu Umar biasa memakai pakaiannya yang paling bagus pada hari Idul Fithri dan Idul Adha".[Fathul Bari 2/439]

Beliau juga menyatakan :

"Sisi pendalilan dengan hadist ini adalah takrir-nya (penetapan) Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam kepada Umar berdasarkan asal memperbagus penampilan itu adalah untuk hari Jum'at. Yang beliau ingkari hanyalah pemakaian perhiasan semisal itu karena ia terbuat dari sutera". [Fathul Bari 2/434].

Dalam 'Al-Mughni' (2/228) Ibnu Qudamah menyatakan :

"Ini menunjukkan bahwa membaguskan penampilan di kalangan mereka pada saat-saat itu adalah masyhur".

Malik berkata :

"Aku mendengar ulama menganggap sunnah untuk memakai wangi-wangian dan perhiasan pada setiap hari raya".

Berkata Ibnul Qayyim dalam "Zadul Ma'ad" (1/441).

"Nabi memakai pakaiannya yang paling bagus untuk keluar (melaksanakan shalat) pada hari Idul Fithri dan Idul Adha. Beliau memiliki perhiasan yang biasa dipakai pada dua hari raya itu dan pada hari Jum'at. Sekali waktu beliau memakai dua burdah (kain bergaris yang diselimutkan pada badan) yang berwarna hijau, dan terkadang mengenakan burdah berwarna merah[2], namun bukan merah murni sebagaimana yang disangka sebagian manusia, karena jika demikian bukan lagi namanya burdah. Tapi yang beliau kenakan adalah kain yang ada garis-garis merah seperti kain bergaris dari Yaman".



[Disalin dari buku Ahkamu Al' Iidaini Fii Al Sunnah Al Muthahharah, edisi Indonesia Hari Raya Bersama Rasulullah oleh Syaikh Ali bin Hasan bin Ali Abdul Hamid Al-Halabi Al-Atsari hal. 12-14, terbitan Pustaka Al-Haura', penerjemah Ummu Ishaq Zulfa Husein]
_________
Foote Note
[1]. Hadits Riwayat Bukhari 886,948,2104,2169, 3045, 5841,5891 dan 6081. Muslim 2068, Abu Daud 1076. An-Nasaa'i 3/196 dan 198. Ahmad 2/20,39 dan 49
[2]. Lihat "Silsilah As-Shahihah 1279

Free Template Blogger collection template Hot Deals BERITA_wongANteng SEO theproperty-developer

SURAT DARI IBU YANG TERKOYAK HATINYA

Anaku….
Ini surat dari ibu yang tersayat hatinya. Linangan air mata bertetesan deras menyertai tersusunnya tulisan ini. Aku lihat engkau lelaki yang gagah lagi matang. Bacalah surat ini. Dan kau boleh merobek-robeknya setelah itu, seperti saat engkau meremukkan kalbuku sebelumnya.

Sejak dokter mengabari tentang kehamilan, aku berbahagia. Ibu-ibu sangat memahami makna ini dengan baik. Awal kegembiraan dan sekaligus perubahan psikis dan fisik. Sembilan bulan aku mengandungmu. Seluruh aktivitas aku jalani dengan susah payah karena kandunganku. Meski begitu, tidak mengurangi kebahagiaanku. Kesengsaraan yang tiada hentinya, bahkan kematian kulihat didepan mataku saat aku melahirkanmu. Jeritan tangismu meneteskan air mata kegembiraan kami.

Berikutnya, aku layaknya pelayan yang tidak pernah istirahat. Kepenatanku demi kesehatanmu. Kegelisahanku demi kebaikanmu. Harapanku hanya ingin melihat senyum sehatmu dan permintaanmu kepada Ibu untuk membuatkan sesuatu.

Masa remaja pun engkau masuki. Kejantananmu semakin terlihat, Aku pun berikhtiar untuk mencarikan gadis yang akan mendampingi hidupmu. Kemudian tibalah saat engkau menikah. Hatiku sedih atas kepergianmu, namun aku tetap bahagia lantaran engkau menempuh hidup baru.

Seiring perjalanan waktu, aku merasa engkau bukan anakku yang dulu. Hak diriku telah terlupakan. Sudah sekian lama aku tidak bersua, meski melalui telepon. Ibu tidak menuntut macam-macam. Sebulan sekali, jadikanlah ibumu ini sebagai persinggahan, meski hanya beberapa menit saja untuk melihat anakku.

Ibu sekarang sudah sangat lemah. Punggung sudah membungkuk, gemetar sering melecut tubuh dan berbagai penyakit tak bosan-bosan singgah kepadaku. Ibu semakin susah melakukan gerakan.

Anakku…
Seandainya ada yang berbuat baik kepadamu, niscaya ibu akan berterima kasih kepadanya. Sementara Ibu telah sekian lama berbuat baik kepada dirimu. Manakah balasan dan terima kasihmu pada Ibu ? Apakah engkau sudah kehabisan rasa kasihmu pada Ibu ? Ibu bertanya-tanya, dosa apa yang menyebabkan dirimu enggan melihat dan mengunjungi Ibu ? Baiklah, anggap Ibu sebagai pembantu, mana upah Ibu selama ini ?

Anakku..
Ibu hanya ingin melihatmu saja. Lain tidak. Kapan hatimu memelas dan luluh untuk wanita tua yang sudah lemah ini dan dirundung kerinduan, sekaligus duka dan kesedihan ? Ibu tidak tega untuk mengadukan kondisi ini kepada Dzat yang di atas sana. Ibu juga tidak akan menularkan kepedihan ini kepada orang lain. Sebab, ini akan menyeretmu kepada kedurhakaan. Musibah dan hukuman pun akan menimpamu di dunia ini sebelum di akhirat. Ibu tidak akan sampai hati melakukannya,

Anakku…
Walaupun bagaimanapun engkau masih buah hatiku, bunga kehidupan dan cahaya diriku…

Anakku…
Perjalanan tahun akan menumbuhkan uban di kepalamu. Dan balasan berasal dari jenis amalan yang dikerjakan. Nantinya, engkau akan menulis surat kepada keturunanmu dengan linangan air mata seperti yang Ibu alami. Di sisi Allah, kelak akan berhimpun sekian banyak orang-orang yang menggugat.

Anakku..
Takutlah engkau kepada Allah karena kedurhakaanmu kepada Ibu. Sekalah air mataku, ringankanlah beban kesedihanku. Terserahlah kepadamu jika engkau ingin merobek-robek surat ini. Ketahuilah, “Barangsiapa beramal shalih maka itu buat dirinya sendiri. Dan orang yang berbuat jelek, maka itu (juga) menjadi tanggungannya sendiri”.

Anakku…
Ingatlah saat engkau berada di perut ibu. Ingat pula saat persalinan yang sangat menegangkan. Ibu merasa dalam kondisi hidup atau mati. Darah persalinan, itulah nyawa Ibu. Ingatlah saat engkau menyusui. Ingatlah belaian sayag dan kelelahan Ibu saat engkau sakit. Ingatlah ….. Ingatlah…. Karena itu, Allah menegaskan dengan wasiat : “Wahai, Rabbku, sayangilah mereka berdua seperti mereka menyayangiku waktu aku kecil”.

Anakku…
Allah berfirman: “Dan dalam kisah-kisah mereka terdapat pelajaran bagi orang-orang berakal” [Yusuf : 111]

Pandanglah masa teladan dalam Islam, masa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam masih hidup, supaya engkau memperoleh potret bakti anak kepada orang tua.

KISAH TELADAN KEPADA ORANG TUA
Sahabat Abu Hurairah sempat gelisah karena ibunya masih dalam jeratan kekufuran. Dalam shahih Muslim disebutkan, dari Abu Hurairah, ia bercerita.

Aku mendakwahi ibuku agar masuk Islam. Suatu hari aku mengajaknya untuk masuk Islam, tetapi dia malah mengeluarkan pernyataan tentang Nabi yang aku benci. Aku (pun) menemui Rasulullah dalam keadaan menangis. Aku mengadu.

“Wahai Rasulullah, aku telah membujuk ibuku untuk masuk Islam, namun dia menolakku. Hari ini, dia berkomentar tentang dirimu yang aku benci. Mohonlah kepada Allah supaya memberi hidayah ibu Abu Hurairah”. Rasulullah bersabda : “Ya, Allah. Tunjukilah ibu Abu Hurairah”. Aku keluar dengan hati riang karena do’a Nabi. Ketika aku pulang dan mendekati pintu, maka ternyata pintu terbuka. Ibuku mendengar kakiku dan berkata : “Tetap di situ Abu Hurairah”. Aku mendengar kucuran air. Ibu-ku sedang mandi dan kemudian mengenakan pakaiannya serta menutup wajahnya, dan kemudian membuka pintu. Dan ia berkata : “Wahai, Abu Hurairah ! Asyhadu an Laa Ilaaha Illa Allah wa Asyhadu Anna Muhammadan Abduhu wa Rasuluhu”. Aku kembali ke tempat Rasulullah dengan menangis gembira. Aku berkata, “Wahai, Rasulullah, Bergembiralah. Allah telah mengabulkan do’amu dan menunjuki ibuku”. Maka beliau memuji Allah dan menyanjungNya serta berkomentar baik” [Hadits Riwayat Muslim]

Ibnu Umar pernah melihat lelaki menggendong ibunya dalam thawaf. Ia bertanya : “Apakah ini sudah melunasi jasanya (padaku) wahai Ibnu Umar?” Beliau menjawab : “Tidak, meski hanya satu jeritan kesakitan (saat persalinan)”.

Zainal Abidin, adalah seorang yang terkenal baktinya kepada ibu. Orang-orang keheranan kepadanya (dan berkata) : “Engkau adalah orang yang paling berbakti kepada ibu. Mengapa kami tidak pernah melihatmu makan berdua dengannya dalam satu talam”? Ia menjawab,”Aku khawatir tanganku mengambil sesuatu yang dilirik matanya, sehingga aku durhaka kepadanya”.

Sebelumnya, kisah yang lebih mengharukan terjadi pada diri Uwais Al-Qarni, orang yang sudah beriman pada masa Nabi, sudah berangan-angan untuk berhijrah ke Madinah untuk bertemu dengan Nabi. Namun perhatiannya kepada ibunya telah menunda tekadnya berhijrah. Ia ingin bisa meraih surga dan berteman dengan Nabi dengan baktinya kepada ibu, kendatipun harus kehilangan kemuliaan menjadi sahabat Beliau di dunia.

Dalam shahih Muslim, dari Usair bin Jabir, ia berkata : Bila rombongan dari Yaman datang, Umar bin Khaththab bertanya kepada mereka : “Apakah Uwais bin Amir bersama kalian ?” sampai akhirnya menemui Uwais. Umar bertanya, “Engkau Uwais bin Amir?” Ia menjawa,”Benar”. Umar bertanya, “Engkau dari Murad kemudian beralih ke Qarn?” Ia menjawab, “Benar”. Umar bertanya, “Engkau punya ibu?”. Ia menjawab, “Benar”. Umar (pun) mulai bercerita, “Aku mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.

“Akan datang pada kalian Uwais bin Amir bersama rombongan penduduk Yaman yang berasal dari Murad dan kemudian dari Qarn. Ia pernah tertimpa lepra dan sembuh total, kecuali kulit yang sebesar logam dirham. Ia mempunyai ibu yang sangat dihormatinya. Seandainya ia bersumpah atas nama Allah, niscaya aku hormati sumpahnya. Mintalah ia beristighfar untukmu jika bertemu”.

(Umar berkata), “Tolong mintakan ampun (kepada Allah) untukku”. Maka ia memohonkan ampunan untukku. Umar bertanya, “Kemana engkau akan pergi?”. Ia menjawab, “Kufah”. Umar berkata, “Maukah engkau jika aku menulis (rekomendasi) untukmu ke gubernurnya (Kufah)?” Ia menjawab, “Aku lebih suka bersama orang yang tidak dikenal”.

Kisah lainnya tentang bakti kepada ibu, yaitu Abdullah bin Aun pernah memanggil ibunya dengan suara keras, maka ia memerdekakan dua budak sebagai tanda penyesalannya.

KISAH KEDURHAKAAN KEPADA ORANG TUA
Diceritakan ada lelaki yang sangat durhaka kepada sang ayah sampai tega menyeret ayahnya ke pintu depan untuk mengusirnya dari rumah. Sang ayah ini dikarunia anak yang lebih durhaka darinya. Anak itu menyeret bapaknya sampai kejalanan untuk mengusirnya dari rumahnya. Maka sang bapak berkata : “Cukup… Dulu aku hanya menyeret ayahku sampai pintu depan”. Sang anak menimpali : “Itulah balasanmu. Adapun tembahan ini sebagai sedekh dariku!”.

Kisah pedih lainnya, seorang Ibu yang mengisahkan kesedihannya : “Suatu hari istri anakku meminta suaminya (anakku) agar menempatkanku di ruangan yang terpisah, berada di luar rumah. Tanpa ragu-ragu, anakku menyetujuinya. Saat musim dingin yang sangat menusuk, aku berusaha masuk ke dalam rumah, tapi pintu-pintu terkunci rapat. Rasa dingin pun menusuk tubuhku. Kondisiku semakin buruk. Anakku ingin membawaku kesuatu tempat. Perkiraanku ke rumah sakit, tetapi ternyata ia mencampakkanku ke panti jompo. Dan setelah itu tidak pernah lagu menemuiku”

Sebagai penutup, kita harus memahami bahwa bakti kepada orang tua merupakan jalan lempang dan mulia yang mengantarkan seorang anak menuju surga Allah. Sebaliknya, kedurhakaan kepada mereka, bisa menyeret sang anak menuju lembah kehinaan, neraka.

Hati-hatilah, durhaka kepada orang tua, dosanya besar dan balasannya menyakitkan. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.

“Artinya : Akan terhina, akan terhina dan akan terhina!” Para sahabat bertanya, “Wahai Rasulullahj, siapakah gerangan ?” Beliau bersabda, “Orang yang mendapati orang tuanya, atau salah satunya pada hari tuanya, namun ia (tetap) masuk neraka” [Hadits Riwayat Muslim]

[Diadaptasi dari Idatush Shabirin, oleh Abdullah bin Ibrahim Al-Qa’rawi dan Ilzam Rijlaha Fatsamma Al-Jannah, oleh Shalihj bin Rasyid Al-Huwaimil]

[Disalin dari Majalah As-Sunnah Edisi 11/Tahun VIII/1425/2005M. Penerbiit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km 8 Selokaton Gondangrejo – Solo 57183]

Free Template Blogger collection template Hot Deals BERITA_wongANteng SEO theproperty-developer

cinta sepanjang Masa


Ia adalah wanita yang terus hidup dalam hati suaminya sampaipun ia telah meninggal dunia. Tahun-tahun yang terus berganti tidak dapat mengikis kecintaan sang suami padanya. Panjangnya masa tidak dapat menghapus kenangan bersamanya di hati sang suami. Bahkan sang suami terus mengenangnya dan bertutur tentang andilnya dalam ujian, kesulitan dan musibah yang dihadapi. Sang suami terus mencintainya dengan kecintaan yang mendatangkan rasa cemburu dari istri yang lain, yang dinikahi sepeninggalnya. (Mazin bin Abdul Karim Al Farih  dalam kitabnya Al Usratu bilaa Masyaakil)
Suatu hari istri beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam yang lain (yakni ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha) berkata, “Aku tidak pernah cemburu kepada seorang pun dari istri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam seperti cemburuku pada Khadijah, padahal aku tidak pernah melihatnya, akan tetapi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam selalu menyebutnya.” (HR. Bukhari)
Ya, dialah Khadijah bintu Khuwailid bin Asad bin ‘Abdul ‘Uzza bin Qushai. Dialah wanita yang pertama kali dinikahi oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Bersamanya, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam membina rumah tangga harmonis yang terbimbing dengan wahyu di Makkah. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak menikah dengan wanita lain sehingga dia meninggal dunia.
Saat menikah, Khadijah radhiyallahu ‘anha berusia 40 tahun sementara Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berusia 25 tahun. Saat itu ia merupakan wanita yang paling terpandang, cantik dan sekaligus kaya. Ia menikah dengan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tak lain karena mulianya sifat beliau, karena tingginya kecerdasan dan indahnya kejujuran beliau. Padahal saat itu sudah banyak para pemuka dan pemimpin kaum yang hendak menikahinya.
Ia adalah wanita terbaik sepanjang masa. Ia selalu memberi semangat dan keleluasaan pada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk mencari kebenaran. Ia sendiri yang menyiapkan bekal untuk Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam saat beliau menyendiri dan beribadah di gua Hira’. Seorang pun tidak akan lupa perkataannya yang masyhur yang menjadikan Nabi merasakan tenang setelah terguncang dan merasa bahagia setelah bersedih hati ketika turun wahyu pada kali yang pertama, “Demi Allah, Allah tidak akan menghinakanmu selama-lamanya. Karena sungguh engkau suka menyambung silaturahmi, menanggung kebutuhan orang yang lemah, menutup kebutuhan orang yang tidak punya, menjamu dan memuliakan tamu dan engkau menolong setiap upaya menegakkan kebenaran.” (HR. Muttafaqun ‘alaih) (Mazin bin Abdul Karim Al Farih  dalam kitabnya Al Usratu bilaa Masyaakil)
Pun, saat suaminya menerima wahyu yang kedua berisi perintah untuk mulai berjuang mendakwahkan agama Allah dan mengajak pada tauhid, ia adalah wanita pertama yang percaya bahwa suaminya adalah utusan Allah dan kemudian menyatakan keislamannya tanpa ragu-ragu dan bimbang sedikit pun juga.
Khadijah termasuk salah satu nikmat yang Allah anugerahkan pada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dia mendampingi beliau selama seperempat abad, menyayangi beliau di kala resah, melindungi beliau pada saat-saat yang kritis, menolong beliau dalam menyebarkan risalah, mendampingi beliau dalam menjalankan jihad yang berat, juga rela menyerahkan diri dan hartanya pada beliau. (Syaikh Shafiyurrahman Al Mubarakfury di dalam Sirah Nabawiyah)
Suatu kali ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata pada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam setelah beliau menyebut-nyebut Khadijah, “Seakan-akan di dunia ini tidak ada wanita lain selain Khadijah?!” Maka beliau berkata kepada ‘Aisyah, “Khadijah itu begini dan begini.” (HR. Bukhari)
Dalam riwayat Ahmad pada Musnad-nya disebutkan bahwa yang dimaksud dengan “begini dan begini” adalah sabda beliau, “Ia beriman kepadaku ketika semua orang kufur, ia membenarkan aku ketika semua orang mendustakanku, ia melapangkan aku dengan hartanya ketika semua orang mengharamkan (menghalangi) aku dan Allah memberiku rezeki berupa anak darinya.” (Mazin bin Abdul Karim Al Farih  dalam kitabnya Al Usratu bilaa Masyaakil)
Karenanya saudariku muslimah, jika engkau ingin hidup dalam hati suamimu maka sertailah dia dalam mencintai dan menegakkan agama Allah, sertailah dia dalam suka dan dukanya. Jadilah engkau seperti Khadijah hingga engkau kelak mendapatkan apa yang ia dapatkan. Sebagaimana yang diriwayatkan dalam Shahih Bukhari, Jibril mendatangi nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam seraya berkata, “Wahai Rasulullah, inilah Khadijah yang datang sambil membawa bejana yang di dalamnya ada lauk atau makanan atau minuman. Jika dia datang, sampaikan salam kepadanya dari Rabb-nya, dan sampaikan kabar kepadanya tentang sebuah rumah di surga, yang di dalamnya tidak ada suara hiruk pikuk dan keletihan.”
Saudariku muslimah, maukah engkau menjadi Khadijah yang berikutnya?
Maraji:
  1. Rumah Tangga tanpa Problema (terjemahan dari Al Usratu bilaa Masyaakil) karya Mazin bin Abdul Karim Al Farih
  2. Sirah Nabawiyah (terj) karya Syaikh Shafiyurrahman Al Mubarakfury
  3. Al Quran dan Terjemahnya
***
Penyusun: Ummu Abdirrahman
Muroja’ah: ustadz Abu Salman
Artikel www.muslimah.or.id

Free Template Blogger collection template Hot Deals BERITA_wongANteng SEO theproperty-developer

Template Copy by Blogger Templates | BERITA_wongANteng |MASTER SEO |FREE BLOG TEMPLATES