MLM Sebuah Permasalahan Kiwari..??

oleh : Ustadz Khalid Syamhudi, Lc
Seiring kemajuan teknologi beserta pola pikir manusia dan naik turun beserta jatuhnya aqidah dan akhlak mereka, bermunculanlah beragam perkara baru hasil jerih payah usaha manusia, khususnya dalam permasalah bisnis. Semuanya dilakukan untuk memakmurkan diri mereka -demikian anggapan mereka- tentunya dengan berusaha menghipnotis manusia dengan propaganda dan promosi yang sangat menarik dan menggiurkan tanpa memandang dahulu bagaimana tinjauan syari’at Islam yang sangat sempurna ini terhadap jenis perkara tersebut.

Memang demikianlah kondisi sebagian kaum muslimin -kalau tidak dikatakan kebanyakan mereka- memandang usaha hanya semata-mata bagaimana mendapatkan keuntungan sebanyak mungkin, walaupun itu sangat fantastis dan tampak seperti mimpi. Hal inipun tidak lepas dari berita wahyu yang disampaikan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam sabdanya:

يَأْتِي عَلَى النَّاسِ زَمَانٌ لاَ يُبَالِي الْمَرْءُ مَا أَخَذَ مِنْهُ؛ أَمِن الحَلاَلِ أَمْ مِنَ الحَرَامِ؟!
Artinya: “Akan datang kepada manusia suatu zaman (ketika itu) seorang tidak lagi perduli dengan apa yang dia dapatkan, apakah dari yang halal atau haram?!” (HR. Bukhari 2059)

Berapa banyak seseorang menzhalimi saudaranya hanya dengan dalih harta, bahkan saling menumpahkan darah diantara mereka. Memang benar pernyataan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam salah satu haditsnya,

إِنَّ لِكُلِّ أُمَّةٍ فِتْنَةً وَفِتْنَةُ أُمَّتِي الْمَالُ
Artinya: “Sesungguhnya setiap umat mendapatkan fitnah dan fitnah umat ini adalah harta.” (HR. Al Timidzi dalam sunannya kitab Al Zuhd)

Fenomena seperti ini memang merupakan ujian yang sulit bagi kaum muslimin ketika iman dan taqwa semakin menipis, sedangkan ketamakan merupakah salah satu tabiat manusia, seperti dijelaskan dalam sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,

لَوْ كَانَ لاِبْنِ آدَمَ وَادِيَانِ مِنْ مَالٍ ؛ لاَبْتَغَى ثَالِثاً , وَلاَ يَمَلأُ جَوْفَ ابْنِ آدَمَ إِلاَّ التُّرَابُ , وَيَتُوْبُ الله ُعَلَى مَنْ تَابَ
Artinya: “Seandainya anak Adam memiliki dua lembah harta; pasti ia menginginkan yang ketiga, sedangkan perut anak Adam tidaklah dipenuhi kecuali dengan tanah, dan Allah memberi taubat-Nya kepada yang bertaubat.” (HR. Bukhari no 6436, Muslim no 1049)

Apalagi di zaman kiwari ini, dimana media komunikasi dan promosi demikian merebak hingga ke pelosok desa terpencil, sehingga bertebaranlah jenis muamalat di masyarakat yang sebelumnya tidak diketahui, diantaranya MLM (Multi Level Marketing). Oleh karena itu, perlu sekali kita merujuk kepada fatwa para ulama seputar permasalalahan yang sekarang sedang semarak ini dengan beragam nama dan teknik pemasaran, walaupun hakikatnya satu yaitu membuat jaringan bisnis dengan membentuk jaringan piramida dengan cara anggota pertama merekrut beberapa anggota baru yang menjadi kakinya (dalam jaringan tersebut) dan kaki-kaki inipun merekrut yang lainnya agar menjadi lapisan di bawahnya dan seterusnya, dengan syarat setiap orang yang ingin mendapat keanggotaan harus mendaftar dengan membayar sejumlah uang.

Sebagian jenis usaha ini menggunakan produk nyata seperti obat-obatan atau kosmetik atau yang lainnya dan sebagian lainnya tidak menggunakan produk, cukup dengan menyetor sejumlah uang, misalnya Rp 3 juta, lalu bila ia dapat merekrut anggota baru, baik langsung atau tidak langsung akan mendapatkan keuntungan uang tertentu, dan sampai batas tertentu akan mendapatkan bonus keuntungan yang sangat menggoda sekali, seperti kendaraan, naik haji, umroh atau wisata ke luar negeri. Sebaliknya, bila tidak mampu merekrut anggota baru maka tidak mendapatkan keuntungan tersebut dan merugi karena uang keanggotaan tersebut hilang bersama waktu yang ditentukan. Yang aneh, para anggota bisnis tersebut tidak berpikir bila perusahaannya suatu saat akan berhenti, dan itu pasti. Lalu bagaimana dengan nasib anggota yang baru masuk menjelang berhentinya perusahaan tersebut?

Nah, ternyata cara muamalah seperti ini tidak hanya ada di negeri ini saja namun juga ada di luar negeri, sebut saja di Timur Tengah atau Amerika atau tempat yang lainnya yang semuanya sama; menjadikan pertambahan pembayaran keanggotaan sebagai tujuan bisnisnya bukan penjualan produk.

Karena banyak pertanyaan disampaikan kepada para ulama seputar permasalan ini dan perlunya merujuk kepada para ulama dalam perkara kontemporer seperti ini, maka perlu disampaikan hakekat hukum syariat dan pandangan para ulama berkenaan dengan permasalahan ini, sehingga jelas dan gamblanglah sikap seorang muslim terhadap muamalah seperti ini.

Syeikh Hasan bin Ali bin Abdilhamid Al Atsari -Hafidzahullah Ta’ala- berkata seputar permasalahan ini: [1]

“Sesungguhnya (termasuk) kewajiban ulama terpercaya dan para penuntut ilmu yang konsisten, adalah mengangkat problematika aktual, atau permasalahan kontemporer, yang masih sulit dipahami oleh sebagian kaum muslimin-atau banyak dari mereka, sehingga Allah berfirman,

وَإِذْ أَخَذَ اللّهُ مِيثَاقَ الَّذِينَ أُوتُواْ الْكِتَابَ لَتُبَيِّنُنَّهُ لِلنَّاسِ وَلاَ تَكْتُمُونَهُ
Artinya: “Dan (ingatlah), ketika Allah mengambil janji dari orang-orang yang telah diberi kitab (yaitu): ‘Hendaklah kamu menerangkan isi kitab itu kepada manusia, dan jangan kamu menyembunyikannya…’ “ (Qs. Ali Imran: 187)

Sungguh telah banyak datang soal dan pertanyaan seputar bisnis perdagangan -yang baru!!-, banyak orang terjerumus ke dalamnya dan yang bertanya hukumnya hanyalah orang-orang shalih; sebagaimana Allah berfirman,

وَقَلِيلٌ مِّنْ عِبَادِيَ الشَّكُورُ
Artinya: “Dan sedikit sekali dari hamba-hamba-Ku yang berterima kasih.”

Dan sebagaimana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

يَأْتِي عَلَى النَّاسِ زَمَانٌ لاَ يُبَالِي الْمَرْءُ مَا أَخَذَ مِنْهُ؛ أَمِن الحَلاَلِ أَمْ مِنَ الحَرَامِ؟!
Artinya: “Akan datang kepada manusia suatu zaman (ketika itu) seorang tidak lagi perduli dengan apa yang dia dapatkan[2], apakah dari yang halal atau haram?!” (HR. Bukhari no.2059 dan no. 2083)

Sesungguhnya kami benar-benar memuji Allah Ta’ala atas datangnya pertanyaan-pertanyaan semacam ini di zaman sesulit ini, karena hal ini menunjukkan -walhamdulillah- adanya benih-benih kebaikan dan keimanan yang tertanam kuat di dalam dada banyak orang muslim yang masih ragu -betapapun banyaknya propaganda/penggiur dan penyamaran- terhadap muamalah ini!!

Seandainya setiap muslim menjadikan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam (berikut):

البِرُّ حُسْنُ الخُلُقِ, وَالإِثْمُ مَا حَاكَ فِي صَدْرِكَ, وَكَرِهْتَ أَنْ يَطَّلِعَ عَلَيْهِ النَّاسُ
Artinya: “Kebaikan adalah bagusnya budi pekerti, dan (perbuatan) dosa adalah segala sesuatu yang tertanam di dadamu, sedangkan kamu merasa tidak suka jika ada orang lain yang mengetahuinya.” (HR. Muslim no. 2553)

Sebagai standar acuannya (dalam bermuamalah) dan sebagai pelita hidupnya, tentulah tidak akan pernah terjerumus seorangpun -dari mereka- ke dalam lingkaran besar kebingungan dan kerancuan; dengan mengatasnamakan label Al Din (agama), syari’at, dan label halal!! La Haula Wala Quwata Illa Billah (Dan tidak ada daya dan upaya kecuali dengan pertolongan Allah Yang Maha Agung).

Kesimpulan bisnis perdagangan -yang baru ini!- terwujud dengan keikutsertaan anggotanya dalam aturan pemasaran (marketing) berbentuk jaringan piramid, yaitu setiap anggotanya merekrut dua anggota baru lainnya, dan setiap orang dari anggota baru tersebut merekrut dua anggota baru lagi… demikian seterusnya!!

Keanggotaan tersebut dilakukan dengan cara pembayaran yang dilakukan oleh seorang yang ingin menjadi anggota -dan ini harus dilakukan!- sebagai tanda pembelian produk abstrak (yang tidak ada kenyataan wujudnya)! Agar dia dapat masuk dalam program bisnis ini!! Sebagai imbalan dari bisnis ini, apabila dia berhasil merekrut sembilan anggota baru lainnya; dia akan mulai mendapatkan keuntungan-keuntungan yang diberikan oleh perusahaan induk!!

Sedangkan untuk kontinuitas/kelanggengan (!) dalam mendapatkan keuntungan ini (!), (setiap anggota) diharuskan terus memperbaharui pembayaran (!!) sebesar uang pendaftaran ulang sebagai anggota pada setiap tahunnya!!!

Dan semakin meluasnya piramid (!) yang bermula dari keikutsertaannya sebagai anggota dan sebagai distributor, semakin banyak pula jumlah anggotanya, dan semakin lama jangka waktunya, serta semakin besar pula nominal uang keuntungan yang dijanjikan dan diimpi-impikannya!! [3]

Semua ini tidak terjamin keselamatannya -sama sekali-; karena hal ini -seperti yang akan datang penjelasannya- dibangun di atas pembayaran uang kontan yang jelas (diketahui) untuk mendapatkan keuntungan yang jauh lebih banyak; namun tidak ada kejelasannya (tidak diketahui)!!

Dan hal ini mengandung unsur spekulasi yang tidak terselubung lagi! Semoga Allah merahmati seorang Imam besar Al Laits bin Sa’ad -yang berkata- tentang masalah ini: “Seandainya orang-orang yang memiliki pemahaman halal dan haram mencermati masalah ini, pastilah mereka tidak akan membolehkannya; karena di dalamnya mengandung unsur spekulasi!” (HR. Al Bukhari, no.2346)

Demikianlah mutiara ilmu dan hikmah yang perlu kita perhatikan dan pahami.

Inilah penjelasan Syaikh Ali Hasan -hafizhullahu- semoga dapat menggugah kita untuk lebih berhati-hati. Wabillahit Taufiq


--------------------------------------------
Footnotes:

[1] Ini semua dari pernyataan beliau dan footnotenya diangkat dari pengantar beliau dalam kitab Ta’rief ‘Uqalaa’ An Naas bi Hukmi Mu’amalat Biznaas- Wamaa Syabahahaa Fi Al Far’i aw Al Asaas, cetakan pertama tahun 2003M, penerbit Dar Al Janaan dan Daar Al Atsariyah hal 3-8

[2] Sama saja di dalam kenyataan muamalahnya, atau tidak ada keinginannya (untuk bertanya -pent). Maka (hendaknya) seorang muslim yang bertaqwa bertanya tentang hukum syar’inya (lebih dahulu) sebelum dia terjerumus ke dalam muamalah ini atau prakteknya.

[3] Maka motivator utama yang mendorong mayoritas anggota (bisnis marketing ini)! -apalagi para distributornya! Atau para pendukungnya!!- adalah janji -atau praduga! dan mimpi-mimpi!!- untuk bisa meraih kekayaan -hanya dalam jangka waktu satu tahun saja-!!

Walaupun (memang) terbukti pada sebagian mereka -dari para perintis (bisnis ini)!- berupa secuil (kekayaan) yang bisa mereka rasakan(!); (Akan tetapi) sesungguhnya hal ini tidak akan dirasakan oleh sebagian besar -dari anggota yang berposisi di tengah atau di akhir dari sistem piramid bisnis tersebut !-, sedangkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

لاَ يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى يُحِبَّ لأَخِيْهِ مَايُحِبُّ لِنَفْسِهِ
Artinya: “Tidaklah sempurna keimanan seseorang di antara kalian hingga ia mencintai untuk saudaranya apa yang ia cintai untuk dirinya sendiri.”(Muttafaqun ‘alaihi)

Juga sebagai peringatan bahwa bagian singa jantan -dan betina!- (bagian keuntungan terbesar dan dominan) dari uang pendaftaran -seluruhnya- kembali kepada perusahaan induk!!!

Hal itu (terjadi) karena perusahaan mensyaratkan kepada setiap anggota (!) yang membayar (99) dolar -sebagai persyaratan masuk sistem piramid tersebut!!- untuk merekrut 9 orang (lainnya) sebelum perusahaan memberikan uang komisi pertama kalinya yang pernah dijanjikan, yang besarnya adalah 55 dolar.

Ditambah lagi dengan hasil penjualan (produk) kepada 9 orang yang membuat perusahaan itu -dengan keadaan seperti ini- mendapatkan keuntungan yang berlipat ganda, jauh di atas beban biaya produksi -yang diklaim ada wujud produknya-, yang harganya tidak lebih sama sekali dari (24) dolar -sesuai pengakuan sebagian para distributor mereka!!-; yaitu: sama dengan: 9 x 75 = 675 dolar, dikurangi 55 dolar, sehingga sisanya 620 dolar -masih ditambah lagi (75 dolar)-, (dari) uang yang diambil dari anggota pertama tadi -tanpa beban biaya produksi-; yaitu: bahwa anggota yang membawa 9 pendaftar (anggota baru lainnya) (!), dia akan mendapatkan 55 dolar, sedangkan para pemilik/perintis perusahaan tersebut saat itu juga mendapatkan -setelah dikalkulasi!- untung bersih sebanyak 695 dolar.

Dan yang mengherankan (!) bahwa para pemilik perusahaan (Biznas) ini -di dalam situs mereka- mengakui (!) bahwa waktu penyediaan situs khusus bagi para pendaftar baru (!) tidak lebih dari (30) detik saja!!

Maka apakah praktek semacam ini berhak mendapatkan uang sebanyak itu?! Ataukah ia hanya penipuan semata; seperti perkataan orang: “Merubah bentuk untuk bisa makan!!!”

[Sumber:www.ekonomisyariat.com]

Free Template Blogger collection template Hot Deals BERITA_wongANteng SEO theproperty-developer

Mencari Kunci Rizki yang hilang

Banyak orang yang masih bingung untuk membuka pintu rizki yang sudah ada dihadapannya, hal itu dikarenakan ia belum menemukan kunci rizki yang tepat, atau bahkan belum memiliki kuncinya, yang selanjutnya dapat dipergunakan untuk membuka pintu dan mendapatkan limpahan karunia rizki yang melimpah dan penuh berkah.

Orang-orang yang tidak sabar akan mengambil jalan pintas untuk mendapatkan rizki guna memenuhi kebutuhan hawa nafsunya, tak peduli halal atau haram. Sedangkan orang-orang yang ikhlas dan sabar, sejatinya dialah yang akan dapat membuka pintu perbendaharaan rizki dan menikmati limpahan karunia Allah dengan penuh kebahagiaan, baik didunia maupun diakhirat kelak.

Dengan membaca buku buah karya Ustadz zainal abidin ini, Insya Allah anda akan semakin terang dalam memandang jalan rizki yang halal dan penuh berkah, dan andapun dapat menilai dengan benar, " halal atau haramkah rizki kita ".

Buku ini merupakan salah satu dari banyak buah karya dari Ustadz zainal zainal abidin, semoga kita semua bisa mengambil manfaat yang banyak dari buku ini.

Free Template Blogger collection template Hot Deals BERITA_wongANteng SEO theproperty-developer

Aroma Kasturi Keluar Dari Hidung Jenazah Wanita Saat Dimandikan

Ummu Ahmad ad-Du'aijy berkata ketika ia ditemui Majalah Yamamah tentang kematian seorang gadis berusia 20 tahun pada kecelakaan kendaraan. Beberapa saat sebelum meninggal, ia pernah ditanya oleh familinya "Bagaimana keadaanmu wahai fulanah.?" Ia menjawab, "Baik, alhamdulillah." Tetapi beberapa saat setelah itu ia meninggal dunia. Semoga Allah merahmatinya.

Mereka membawanya ke tempat memandikan mayat. Ketika kami meletakkan mayatnya di atas kayu pemandian untuk dimandikan, kami melihat wajahnya ceria dan tersimpul senyuman seakan-akan ia sedang tidur. Di tubuhnya tidak ada cacat, patah dan luka. Dan anehnya (sebagaimana yang dikatakan ummu Ahmad) ketika mereka hendak mengangkatnya untuk menyelesaikan mandinya, keluar benda berwarna putih yang memenuhi ruangan tersebut menjadi harum kasturi. Subhanallah! Benar ini adalah bau kasturi. Kami bertakbir dan berdzikir kepada Allah sehingga anakku yang merupakan sahabat si mayit menangis melihatnya.

Kemudian aku bertanya kepada bibi si mayit tentang keponakannya, bagaimana keadaannya semasa hidup? Ia menjawab, "Sejak mendekati usia baligh, ia tidak pernah meninggalkan sebuah kewajiban, tidak pernah melihat film, sinetron dan musik. Sejak usia tiga belas tahun, ia sudah mulai puasa senin-kamis dan ia pernah berniat secara sosial membantu memandikan mayat. Tetapi ia terlebih dahulu dimandikan sebelum ia memandikan orang lain. Para guru dan teman-temannya mengenang ketakwaannya, akhlaknya dan pergaulannya yang banyak berpengaruh terhadap teman-temannya baik ketika masih hidup maupun setelah meninggal."

Aku katakan, "Benarlah perkataan syair,
Detak jantung seseorang berkata kepadanya,
bahwa kehidupan hanya beberapa menit dan detik saja.
Camkanlah itu dalam dirimu sebelum engkau mati,
Seorang insan mengingat umurnya yang hanya sedetik."


Dan perkataan yang lebih baik dari itu adalah firman Allah SWT,
"Dan Allah telah menjadikanku selalu berbakti di manapun aku berada." (Maryam: 31).

Lalu ummu Ahmad melanjutkan ceritanya, Ada lagi jenazah seorang gadis yang berumur 17 tahun. Para wanita memandikannya dan kami melihat jasadnya berwarna putih lalu beberapa saat kemudian berubah menjadi hitam seperti kegelapan malam. Hanya Allah-lah yang mengetahui tentang keadaannya. Kami tidak sanggup bertanya kepada keluarganya, agar kami dapat menyembunyikan aib jenazah. Hanya Allah-lah yang Maha Tahu.

Kita bermohon kepada Allah keselamatan dan kesehatan.

Wahai saudariku apakah dua kisah ini dapat engkau jadikan sebagai pelajaran? Apakah engkau akan mengikuti jejak orang shalih ataukah engkau menjadikan wanita-wanita fasik dan durhaka sebagai tauladan? Kematian bagaimanakah yang engkau pilih?

Kisah ini dicantumkan dalam Majalah al-Yamamah edisi 1557 tanggal 14 Shafar 1320 H.

(SUMBER: SERIAL KISAH TELADAN karya Muhammad bin Shalih al-Qahthani)

Free Template Blogger collection template Hot Deals BERITA_wongANteng SEO theproperty-developer

Hikmah Ta'adud

 Syaikh Ubaid bin Abdillah Al-Jabiri Hafizahullah : “Menolak poligami bukan pembatal keislaman, namun ini merupakan kesalahan dan bahaya. Pada hakikatnya ini kembali kepada keyakinannya, namun dikhuatiri orang yang membenci poligami ini terjatuh dalam kekafiran kerana membenci salah satu syi’ar Allah sebab perkara ini ...telah ditetapkan berdasarkan Al-Kitab, As Sunnah dan Ijma’.”

Asy Syaikh Ubaid bin Abdillah Al-Jabiri Hafizahulloh :telah kami jelaskan bahwa hukum asal dari pernikahan adalah poligami dan yang berpendapat wajibnya memiliki sisi kebenaran dalil kerana asal perintah hukumnya wajib. Maka haram atas mereka untuk mengingkari syi’ar ini. Dan kami nasihatkan kepada kaum muslimin agar ...hendaklah mereka berpoligami kerana poligami ini memiliki hikmah dan kemaslahatan banyak.

Free Template Blogger collection template Hot Deals BERITA_wongANteng SEO theproperty-developer

Sebab-sebab Lapangnya Dada

Oleh Ibnu Qayyim Al-Jauziyah

Sebab-sebab yang melapangkan dada dan kesempurnaannya pada diri Rasulullah sallallahu alaihi wasallam:
1. Sebab agung yang melapangkan dada adalah tauhid. Sifat lapang dada seseorang sangat tergantung sejauh mana kesempurnaan kekuatan, dan pertambahan tauhid dalam dirinya. Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:
أَفَمَنْ شَرَحَ اللهُ صَدْرَهُ لِلإسْلامِ فَهُوَ عَلَى نُورٍ مِنْ رَبِّهِ
“Maka apakah orang-orang yang dilapangkan Allah hatinya untuk (menerima) agama Islam lalu ia mendapat cahaya dari Rabbnya.” (QS Az-Zumar : 22)
Dan firman-Nya:
فَمَنْ يُرِدِ اللَّهُ أَنْ يَهدِيَهُ يَشْرَحْ صَدْرَهُ لِلإسْلامِ وَمَنْ يُرِدْ أَنْ يُضِلَّهُ يَجْعَلْ صَدْرَهُ ضَيِّقًا حَرَجًا كَأَنَّمَا يَصَّعَّدُ فِي السَّمَاءِ
“Barang siapa yang Allah menghendaki akan memberikan kepadanya petunjuk, niscaya Dia melapangkan dadanya untuk (memeluk agama) Islam. Dan barang siapa yang dikehendaki Allah kesesatannya, niscaya Allah menjadikan dadanya sesak lagi sempit, seolah-olah ia sedang mendaki ke langit.” (QS Al-An’an : 125)
Hidayah dan tauhid merupakan sebab terbesar yang melapangkan dada. Syirik dan kesesatan adalah seab paling utama yang menyesakkan dan menyempitkan dada.
2. Di antara sebab yang melapangkan dada adalah cahaya yang dicampakkan Allah dalam hati seorang hamba, yaitu cahaya keimanan. Sesungghuhnya ia melapangkan dada dan meluaskannya serta menggemberikan hati. Jika cahaya ini hilang dari hati seorang hamba maka hatinya jadi sempit dan sesak. Jadilah ia berada pada penjara sangat sempit dan sulit.
At-Tirmidzi meriwayatkan dalam kitabnya Al-Jami’, dari Nabi sallallahu alaihi wasallam bahwa beliau bersabda: “Apabila cahaya masuk ke hati, maka hati akan terbuka dan lapang.” Mereka bertanya, “Apakah tanda-tandanya wahai Rasulullah?” Beliau sallallahu alaihi wasallam bersabda: “Kembali kepada tempat abadi, menyingkir dari tempat tipu daya, dan beriap untuk mati sebelum datang waktunya.”[1]
Seseorang akan mendapatkan lapang dada seseuai dengan apa yang didapatkannya dengan cahaya itu. Demikian juga cahaya indrawi dan kegelapan indrawi. Salah satunya melapangkan dada dan satunya lagi menyempitkannya.
3. Perkara lain yang melapangkan dada adalah ilmu. Sesungguhnya ilmu dapat melapangkan dada dan meluaskannya hingga lebih luas daripada dunia. Sedang kebodohannya menngakibatkan kesempitan, keterbatasan dan kungkungan. Setiap kali ilmu seseorang bertambah maka dadanya semakin lapang dan luas. Namun hal ini tidak berlaku bagi semua ilmu. Akan tetapi hanya ilmu yang diwarisi dari Rasulullah sallallahu alaihi wasallam, yaitu ilmu yang bermanfaat. Orang-orang yang memilikinya adalah manusia-manusia paling lapang dada, sangat terbuka hati, lebih bagus akhlak dan terbaik dalam kehidupan.
4. Faktor lain yang melapangkan dada adalah kembali kepada Allah Subhanahu Wata’ala, mencintai-Nya dengan sepenuh hati, menghadap-Nya, merasa nikmat dengan beribadah kepada-Nya. Tidak ada yang lebih melapangkan dada seseorang daripada hal itu. Hingga terkadang seseorang berkara: “Jika aku berada di surga dalam kondisi seperti ini maka sungguh aku berada dalam kehidupan yang baik.” Kecintaan memiliki pengauh sangat ajaib dalam melapangkan dada, mensucikan jiwa, dan menenangkan hati. Tak akan mengetahuinya kecuali mereka yang pernah merasakannya. Setiap kali kecintaan menguat dan keras, maka dada semakin terbuka dan lapang. Dada yang demikian tidak menjadi sempit kecuali bila melihat mereka yang lalai dan jauh dari hal tersebut. Melihat mereka menyakitkan mata baginya dan berinteraksi dengan mereka adalah demam bagi ruhnya.
Di antara perkara paling besar yang menyempitkan dada adalah berpaling dari Allah Subhanahu Wata’ala, mengaitkan hati dengan selain-Nya, lalai berdzikir pada-Nya, dan mencintai selain-Nya. Sebab siapa yang mencintai sesuatu selain Allah niscaya akan disiksa dengan hal itu. Hatinya dipenjara dalam mencintai perkara tersebut. Tidak ada di permukaan bumi ini yang lebih sengsara, lebih keras perasaan, lebih menderita dalam kehidupan, dan lebih lelah hati darinya.
Inilah dua kecintaan, kecintaan yang merupakan surga dunia, kegembiraan jiwa, kelezatan hati, kenikmatan ruh, makanan dan obatnya, bahkan kehidupan dan penyejuk matanya, ia adalah kecintaan kepada Allah semata dengan sepenuh hati, tarikan kekuatan kecenderungan, kehendak, dan kecintaan semua kepada-Nya. Dan kecintaan yang merupakan azab bagi ruh, kegundahan jiwa, penjara hati, kesempitan dada, dan sebab sakit, sengsara dan kelelahan, ia adalah kecintaan kepada selain Allah Subhanahu Wata’ala.
5. Di antara sebab yang melapangkan dada adalah senantiasa berdzikir dalam segala keadaan dan di setiap tempat. Dzikir memiliki pengaruh ajaib dalam melapangkan dada dan kenikmatan hati. Sementara kelalaian memiliki pula pengaruh ajaib dalam menyempitkan hati, mengungkung dan menyiksanya.
6. Di antaranya pula adalah berbuat baik kepada manusia, memberi manfaat bagi mereka dengan segala yang mungkin dilakukan, baik berupa harta, kedudukan, manfaat fisik, dan segala jenis kebaikan. Orang dermawan dan senang berbuat baik adalah manusia paling lapang dadanya, yang paling suci jiwanya, dan paling nikmat hatinya. Sedangkan orang yang kikir yang tidak ada padanya kebaikan adalah manusia paling sempit dadanya, paling sengsara kehidupannya, dan paling besar kegundahan dan kegelisahannya.
Rasulullah telah membuat perumpamaan dalam hadits shahih tentang orang bakhil dan yang dermawan sama seperti dua laki-laki yang memiliki dua pakaian terbuat dari besi. Setiap kali yang dermawan berkeinginan mengeluarkan sedekah, maka bajunya meluas dan lapang, hingga pakaiannya terseret dan menghapus jejak kakinya. Dan setiap kali si bakhil menahan sedekah, maka setiap rantai baju itu menempel pada tempatnya. Dan bajunya tidak menjadi besar baginya.[2] Inilah perumpamaan sifat lapang dada orang mukmin yang bersedekah serta keluasan hatinya, dan perumpamaan sempitnya hati orang bakhil dan kungkungan hatinya.
7. Di antara sebab yang melapangkan dada adalah keberanian. Sesungguhnya pemberani memiliki dada lapang, jiwa besar, dan hati luas. Adapun pengecut adalah manusia paling sempit dadanya seta paling terbelenggu hatinya. Tidak ada kesenangan serta kegembiraan baginya dan tidak ada pula kelezatan. Tak ada kenikmakatan untuknya kecuali jenis kenikmatan yang dirasakan oleh hewan. Adapun kegembiraan ruh, kelezatan, kenikmatan, dan kecerahannya, diharamkan atas setiap pengecut , sebagaimana diharamkan juga atas semua orang bakhil, dan setiap orang yang berpaling dari Allah Subhanahu wa Ta’ala, lalai dari dzikir pada-Nya, bodoh tentang Allah, nama-nama, sifat-sifat dan agama-Nya, serta mereka yang emnambatkan hati pada selain-Nya.
Kenikmatan dan kegembiraan ini kelak di alam kubur akan menjadi taman dan surga. Sementara kesempitan dan keterkungkungan hati kelak di alam kubur akan menjadi siksaan dan penjara. Keadaan seorang hamba dalam kubur seperti keadaan hati dalam dada, nikmat atau azab dan penjara atau merdeka. Tidak ada pengaruh pada kecerahan hati si bakhil karena sesuatu yang terjadi secara tiba-tiba. Dan tidak ada pula pengaruh pada kesempitan hati si dermawan karena factor tersebut. Sebab, hal-hal yang bersifat sementara seperti ini akan segera sirna bila penyebabnya telah hilang. Sesungguhnya yang dijadikan patokan adalah sifat yang melazimi hati dan melahirkan rasa lapang atau mengungkungnya. Inilah yang dijadikan timbangan. Wallahu a’lam.
8. Termasuk perkara yang melapangkan dada –bahkan paling menentukan- adalah mengeluarkan kotoran hati berupa sifat-sifat tercela yang mengakibatkan kesempitan hati dan siksaannya. Menghalangi antara hati dengan kesembuhannya. Sesungguhnya seseorang bila melakukan sebab-sebab yang melapangkan dadanya, dan tidak mengeluarkan sifat-sifat tercela itu dari hatinya, maka ia tidak mendapatkan faidah memuaskan dari dadanya yang lapang, bahkan ia hanya akan memiliki dua perkara saling kontradiksi dalam hatinya, perkara paling dominan itulah yang menguasainya.
9. Sebab-sebab lain yang juga melapangkan dada adalah meninggalkan kelebihan melihat, berbicara, mendengar, bergaul, makan, dan tidur. Sebab berlebihan dalam hal-hal ini akan melahirkan rasa sakit, risau, dan gelisah dalam hati. Ia akan membatasi hati, mengungkungnya, menyempitkannya, dan menyiksanya. Bahkan kebanyakan siksaan dunia dan akhirat berasal darinya. Demi yang tidak ada sembahan sesungguhnya selain Dia, alangkah sempitnya dada orang yang mengambil bagian dari setiap enakit ini, alangkah sengsara kehidupannya, alangkah buruk keadaaannya, dan alangkah keras belenggu hatinya. Dan demi Dzat Yang Tidak ada sembahan yang haq selain Dia, alangkah nikmat kehidupan mengambil bagian dari sfiat-sifat terpuji itu, obsesinya terarah padanya, dan mengitari di sekitarnya. Bagi orang seperti ini bagian yang sangat besar dari apa yang difirmankan Allah Subhanahu wa Ta’ala, “Sesungguhnya orang-orang yang baik berada dalam kenikmatan.” (QS Al-Infitar : 13). Sedangkan bagi yang sebaliknya bagian sangat besar dari apa yang dirifmankan Allah Subhanahu wa Ta’ala: “Sesungguhnya orang-orang fajir berada dalam neraka.” (QS Al-Infitar : 14). Antara keduanya terdapat tingkatan-tingkatan berbeda-beda. Tak ada yang mengetahuinya selain Allah tabaraka wata’ala.
Maksudnya bahwa Rasulullah sallallahu alaihi wasallam adalah manusia paling sempurna dalam segala sifat yang melahrikan lapang dada, keluasan hati, kesejukan mata dan kehidupan ruh. Beliau adalah manusia oaling sempurna dalam sifat lapang dan kehidupan ini serta kesejukan mata. Ditambah lagi dengan apa yang ada padanya berupa sifat lapang yang bersifat indrawi. Lalu manusia yang sempurna yang dalam mengikuti beliau sallallahu alaihi wasallam, maka dialah orang yang paling sempurna merasakan lapang dada, kelezatan dan kesejukan mata. Sejauh mana seorqang hamba mengikuti Nabi sallallahu alaihi wasallam, maka sejauh itu pula yang akan didapatkannya dari rasa lapang, kesejukan mata, dan kelezatan ruhnya. Beliau sallallahu alaihi wasallam berada di atas puncak kesempurnaan sifat lapang dada, ketinggian nama, pelepasan beban dosa. Adapun bagian umatnya dari hal-hal itu sesuai dengan sikap mereka dalam mengikuti beliau sallallahu alaihi wasallam. Wallahu a’alm.
Demikian pula bagian para pengikut beliau sallallahu alaihi wasallam dari pemeliharaan Allah subhanahu wata’ala, perlindungan-Nya, pembelaan-Nya, dan penggolongannya untuk mereka, sesuai dengan sikap mereka dalam mengikuti Nabi sallallahu alaihi wasallam. Ada yang mengambil bagian sedikit, dan ada pula yang mengambil bagian yang banyak. Barangsiapa mendapatkan kebaikan, hendaknya memuji Allah. Dan barangsiapa mendaptkan selain itu, janganlah mencela selain dirinya sendiri.[3]
_____________________
Catatan kaki
[1] At Tirmidzi tidak meriwayatkan hadits ini seperti dikatakan penulis. Namun hadits ini diriwayatkan Ath-Thabari, 8/27 dari hadits Ibnu Mas’ud. Disebutkan juga oleh As-Suyuthi dalam kitab Ad-Durr Al-Mantsur, 3/44, dan beliau menambah penisbatan kepada Ibnu Abi Syaibah, Ibnu Abid Dunya, Abu Asy-Syaikh, Ibnu Mardawiyah, Al-Hakim dan Al-Baihaqi di kitab Asy-Syu’ab melalui beberapa jalur. Al-Hafizh Ibnu Katsir berkata, 2/174 dan 175 setelah menyebutkannya dari Abdurrazaq, Ibnu Abi Hatim dan Ibnu Jarir: “Jalur-jalur periwayatan ini baik yang mursal maupun muttashil saling menguatkan satu sama lain.”
[2] HR Bukhari no. 3/241-242, dan HR Muslim no. 1021 dari hadits Abu Hurairah radiallahu anhu ia berkata, “Rasulullah sallallahu alaihi wasallam bersabda: “Perumpamaan orang bakhil dan berinfak sama seperti dua laki-laki yang mengenakan baju terbuat dari besi yang menutupi dada hingga ke leher mereka. Adapun yang berinfak, tidaklah ia berinfak melainkan baju itu meluas dan menutupi kulitnya hingga menutupi jari-jari tangannya dan menghapus jejak kakinya. Sedangkan si bakhil, setiap kali dia tidak mau menginfakkan sesuatu, maka menempel setiap mata rantai baju itu di tempatnya, dia berusaha meluaskannya namun tidak mau menjadi luas.”
Al-Khathabi berkata: “ini adalah perumpamaan yang disebutkan oleh Nabi sallallahu alaihi wasallam bagi bakhil dan yang bersedekah. Beliau sallallahu alaihi wasallam menyerupakan keduanya dengan dua laki-laki yang masing-masing ingin memakai baju besi untuk menutupi dirinya dari senjata musuh. Lalu baju besi itu dimasukkan dari kepala. Dan baju besi pertama kali dipakai berada di dada hingga leher sampai seseorang berhasil mengeluarkan tangannya dari lengannya. Maka orang yang berinfak sama seperti memakai baju besi yang luas. Baju itu mampu menutupi semua badannya. Sedangkan si bakhil seperti orang yang terbelenggu kedua tangannya ke lehernya. Setiap kali ia hendak memakai baju itu, tangannya semakin terjepit ke lehernya dan mencekik tenggorokannya. Maksudnya, orang yang dermawan jika ingin bersedekah maka hatinya menjadi luas dan jiwanya menjadi baik, sehingga mudah mengeluarkan sedekah. Sedangkan orang bakhil jika diceritakan tentang sedekah, maka ia menjadi kikir sehingga hatinya menyempuit dan tangannya terkungkung.”
[3] Kutipan dari hadits qudsi yang panjang diriwayatkan dalam Shahih Muslim no. 2577, dari hadits Abu Dzar radiallahu anhu, dan di dalamnya disebutkan: “Wahai hamba-hamba-Ku, sesungguhnya ia hanyalah amal-amal kamu. Aku mengumpulkannya untuk kamu , kemjudian Aku membalas kamu atasnya, barangsiapa mendapatkan kebaikan, hendaklah memuji Allah, dan barangsiapa mendapatkan selain itu, maka janganlah mencela selain dirinya sendiri.” Di antara keunikan hadits ini bahwa Imam An-Nawawi menyebutkan di akhir kitabnya Al-Adzkar dengan sanadnya hingga Abu Dzar. Dia berkata ini adalah hadits shahih kami temukan dalam Shahih Muslim dan selainnya. Para perawinya dari aku hingga Abu Dzar radiallahu anhu semuanya berasal dari Damaskus. Imam Ahmad bin Hambal berkata: “Tidak ada bagi penduduk Syam hadits yang lebih mulia daripada hadits ini. Dan konon Abu Idris Al-Khaulani (perawi hadits itu dari Abu Dzar) bila menceritakan hadits tersebut maka ia berlutut dengan kedua lututnya.”
***Disalin dari terjemahan kitab Zadul Ma’ad jilid 2 karya Al-Imam Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah, muhaqqiq: Abdul Qadir Al-Arna’uth dan Syubaib Al-Arna’uth, penerbit Griya Ilmu.

Free Template Blogger collection template Hot Deals BERITA_wongANteng SEO theproperty-developer

Sebab-sebab Lapangnya Dada

Oleh Ibnu Qayyim Al-Jauziyah

Sebab-sebab yang melapangkan dada dan kesempurnaannya pada diri Rasulullah sallallahu alaihi wasallam:
1. Sebab agung yang melapangkan dada adalah tauhid. Sifat lapang dada seseorang sangat tergantung sejauh mana kesempurnaan kekuatan, dan pertambahan tauhid dalam dirinya. Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:
أَفَمَنْ شَرَحَ اللهُ صَدْرَهُ لِلإسْلامِ فَهُوَ عَلَى نُورٍ مِنْ رَبِّهِ
“Maka apakah orang-orang yang dilapangkan Allah hatinya untuk (menerima) agama Islam lalu ia mendapat cahaya dari Rabbnya.” (QS Az-Zumar : 22)
Dan firman-Nya:
فَمَنْ يُرِدِ اللَّهُ أَنْ يَهدِيَهُ يَشْرَحْ صَدْرَهُ لِلإسْلامِ وَمَنْ يُرِدْ أَنْ يُضِلَّهُ يَجْعَلْ صَدْرَهُ ضَيِّقًا حَرَجًا كَأَنَّمَا يَصَّعَّدُ فِي السَّمَاءِ
“Barang siapa yang Allah menghendaki akan memberikan kepadanya petunjuk, niscaya Dia melapangkan dadanya untuk (memeluk agama) Islam. Dan barang siapa yang dikehendaki Allah kesesatannya, niscaya Allah menjadikan dadanya sesak lagi sempit, seolah-olah ia sedang mendaki ke langit.” (QS Al-An’an : 125)
Hidayah dan tauhid merupakan sebab terbesar yang melapangkan dada. Syirik dan kesesatan adalah seab paling utama yang menyesakkan dan menyempitkan dada.
2. Di antara sebab yang melapangkan dada adalah cahaya yang dicampakkan Allah dalam hati seorang hamba, yaitu cahaya keimanan. Sesungghuhnya ia melapangkan dada dan meluaskannya serta menggemberikan hati. Jika cahaya ini hilang dari hati seorang hamba maka hatinya jadi sempit dan sesak. Jadilah ia berada pada penjara sangat sempit dan sulit.
At-Tirmidzi meriwayatkan dalam kitabnya Al-Jami’, dari Nabi sallallahu alaihi wasallam bahwa beliau bersabda: “Apabila cahaya masuk ke hati, maka hati akan terbuka dan lapang.” Mereka bertanya, “Apakah tanda-tandanya wahai Rasulullah?” Beliau sallallahu alaihi wasallam bersabda: “Kembali kepada tempat abadi, menyingkir dari tempat tipu daya, dan beriap untuk mati sebelum datang waktunya.”[1]
Seseorang akan mendapatkan lapang dada seseuai dengan apa yang didapatkannya dengan cahaya itu. Demikian juga cahaya indrawi dan kegelapan indrawi. Salah satunya melapangkan dada dan satunya lagi menyempitkannya.
3. Perkara lain yang melapangkan dada adalah ilmu. Sesungguhnya ilmu dapat melapangkan dada dan meluaskannya hingga lebih luas daripada dunia. Sedang kebodohannya menngakibatkan kesempitan, keterbatasan dan kungkungan. Setiap kali ilmu seseorang bertambah maka dadanya semakin lapang dan luas. Namun hal ini tidak berlaku bagi semua ilmu. Akan tetapi hanya ilmu yang diwarisi dari Rasulullah sallallahu alaihi wasallam, yaitu ilmu yang bermanfaat. Orang-orang yang memilikinya adalah manusia-manusia paling lapang dada, sangat terbuka hati, lebih bagus akhlak dan terbaik dalam kehidupan.
4. Faktor lain yang melapangkan dada adalah kembali kepada Allah Subhanahu Wata’ala, mencintai-Nya dengan sepenuh hati, menghadap-Nya, merasa nikmat dengan beribadah kepada-Nya. Tidak ada yang lebih melapangkan dada seseorang daripada hal itu. Hingga terkadang seseorang berkara: “Jika aku berada di surga dalam kondisi seperti ini maka sungguh aku berada dalam kehidupan yang baik.” Kecintaan memiliki pengauh sangat ajaib dalam melapangkan dada, mensucikan jiwa, dan menenangkan hati. Tak akan mengetahuinya kecuali mereka yang pernah merasakannya. Setiap kali kecintaan menguat dan keras, maka dada semakin terbuka dan lapang. Dada yang demikian tidak menjadi sempit kecuali bila melihat mereka yang lalai dan jauh dari hal tersebut. Melihat mereka menyakitkan mata baginya dan berinteraksi dengan mereka adalah demam bagi ruhnya.
Di antara perkara paling besar yang menyempitkan dada adalah berpaling dari Allah Subhanahu Wata’ala, mengaitkan hati dengan selain-Nya, lalai berdzikir pada-Nya, dan mencintai selain-Nya. Sebab siapa yang mencintai sesuatu selain Allah niscaya akan disiksa dengan hal itu. Hatinya dipenjara dalam mencintai perkara tersebut. Tidak ada di permukaan bumi ini yang lebih sengsara, lebih keras perasaan, lebih menderita dalam kehidupan, dan lebih lelah hati darinya.
Inilah dua kecintaan, kecintaan yang merupakan surga dunia, kegembiraan jiwa, kelezatan hati, kenikmatan ruh, makanan dan obatnya, bahkan kehidupan dan penyejuk matanya, ia adalah kecintaan kepada Allah semata dengan sepenuh hati, tarikan kekuatan kecenderungan, kehendak, dan kecintaan semua kepada-Nya. Dan kecintaan yang merupakan azab bagi ruh, kegundahan jiwa, penjara hati, kesempitan dada, dan sebab sakit, sengsara dan kelelahan, ia adalah kecintaan kepada selain Allah Subhanahu Wata’ala.
5. Di antara sebab yang melapangkan dada adalah senantiasa berdzikir dalam segala keadaan dan di setiap tempat. Dzikir memiliki pengaruh ajaib dalam melapangkan dada dan kenikmatan hati. Sementara kelalaian memiliki pula pengaruh ajaib dalam menyempitkan hati, mengungkung dan menyiksanya.
6. Di antaranya pula adalah berbuat baik kepada manusia, memberi manfaat bagi mereka dengan segala yang mungkin dilakukan, baik berupa harta, kedudukan, manfaat fisik, dan segala jenis kebaikan. Orang dermawan dan senang berbuat baik adalah manusia paling lapang dadanya, yang paling suci jiwanya, dan paling nikmat hatinya. Sedangkan orang yang kikir yang tidak ada padanya kebaikan adalah manusia paling sempit dadanya, paling sengsara kehidupannya, dan paling besar kegundahan dan kegelisahannya.
Rasulullah telah membuat perumpamaan dalam hadits shahih tentang orang bakhil dan yang dermawan sama seperti dua laki-laki yang memiliki dua pakaian terbuat dari besi. Setiap kali yang dermawan berkeinginan mengeluarkan sedekah, maka bajunya meluas dan lapang, hingga pakaiannya terseret dan menghapus jejak kakinya. Dan setiap kali si bakhil menahan sedekah, maka setiap rantai baju itu menempel pada tempatnya. Dan bajunya tidak menjadi besar baginya.[2] Inilah perumpamaan sifat lapang dada orang mukmin yang bersedekah serta keluasan hatinya, dan perumpamaan sempitnya hati orang bakhil dan kungkungan hatinya.
7. Di antara sebab yang melapangkan dada adalah keberanian. Sesungguhnya pemberani memiliki dada lapang, jiwa besar, dan hati luas. Adapun pengecut adalah manusia paling sempit dadanya seta paling terbelenggu hatinya. Tidak ada kesenangan serta kegembiraan baginya dan tidak ada pula kelezatan. Tak ada kenikmakatan untuknya kecuali jenis kenikmatan yang dirasakan oleh hewan. Adapun kegembiraan ruh, kelezatan, kenikmatan, dan kecerahannya, diharamkan atas setiap pengecut , sebagaimana diharamkan juga atas semua orang bakhil, dan setiap orang yang berpaling dari Allah Subhanahu wa Ta’ala, lalai dari dzikir pada-Nya, bodoh tentang Allah, nama-nama, sifat-sifat dan agama-Nya, serta mereka yang emnambatkan hati pada selain-Nya.
Kenikmatan dan kegembiraan ini kelak di alam kubur akan menjadi taman dan surga. Sementara kesempitan dan keterkungkungan hati kelak di alam kubur akan menjadi siksaan dan penjara. Keadaan seorang hamba dalam kubur seperti keadaan hati dalam dada, nikmat atau azab dan penjara atau merdeka. Tidak ada pengaruh pada kecerahan hati si bakhil karena sesuatu yang terjadi secara tiba-tiba. Dan tidak ada pula pengaruh pada kesempitan hati si dermawan karena factor tersebut. Sebab, hal-hal yang bersifat sementara seperti ini akan segera sirna bila penyebabnya telah hilang. Sesungguhnya yang dijadikan patokan adalah sifat yang melazimi hati dan melahirkan rasa lapang atau mengungkungnya. Inilah yang dijadikan timbangan. Wallahu a’lam.
8. Termasuk perkara yang melapangkan dada –bahkan paling menentukan- adalah mengeluarkan kotoran hati berupa sifat-sifat tercela yang mengakibatkan kesempitan hati dan siksaannya. Menghalangi antara hati dengan kesembuhannya. Sesungguhnya seseorang bila melakukan sebab-sebab yang melapangkan dadanya, dan tidak mengeluarkan sifat-sifat tercela itu dari hatinya, maka ia tidak mendapatkan faidah memuaskan dari dadanya yang lapang, bahkan ia hanya akan memiliki dua perkara saling kontradiksi dalam hatinya, perkara paling dominan itulah yang menguasainya.
9. Sebab-sebab lain yang juga melapangkan dada adalah meninggalkan kelebihan melihat, berbicara, mendengar, bergaul, makan, dan tidur. Sebab berlebihan dalam hal-hal ini akan melahirkan rasa sakit, risau, dan gelisah dalam hati. Ia akan membatasi hati, mengungkungnya, menyempitkannya, dan menyiksanya. Bahkan kebanyakan siksaan dunia dan akhirat berasal darinya. Demi yang tidak ada sembahan sesungguhnya selain Dia, alangkah sempitnya dada orang yang mengambil bagian dari setiap enakit ini, alangkah sengsara kehidupannya, alangkah buruk keadaaannya, dan alangkah keras belenggu hatinya. Dan demi Dzat Yang Tidak ada sembahan yang haq selain Dia, alangkah nikmat kehidupan mengambil bagian dari sfiat-sifat terpuji itu, obsesinya terarah padanya, dan mengitari di sekitarnya. Bagi orang seperti ini bagian yang sangat besar dari apa yang difirmankan Allah Subhanahu wa Ta’ala, “Sesungguhnya orang-orang yang baik berada dalam kenikmatan.” (QS Al-Infitar : 13). Sedangkan bagi yang sebaliknya bagian sangat besar dari apa yang dirifmankan Allah Subhanahu wa Ta’ala: “Sesungguhnya orang-orang fajir berada dalam neraka.” (QS Al-Infitar : 14). Antara keduanya terdapat tingkatan-tingkatan berbeda-beda. Tak ada yang mengetahuinya selain Allah tabaraka wata’ala.
Maksudnya bahwa Rasulullah sallallahu alaihi wasallam adalah manusia paling sempurna dalam segala sifat yang melahrikan lapang dada, keluasan hati, kesejukan mata dan kehidupan ruh. Beliau adalah manusia oaling sempurna dalam sifat lapang dan kehidupan ini serta kesejukan mata. Ditambah lagi dengan apa yang ada padanya berupa sifat lapang yang bersifat indrawi. Lalu manusia yang sempurna yang dalam mengikuti beliau sallallahu alaihi wasallam, maka dialah orang yang paling sempurna merasakan lapang dada, kelezatan dan kesejukan mata. Sejauh mana seorqang hamba mengikuti Nabi sallallahu alaihi wasallam, maka sejauh itu pula yang akan didapatkannya dari rasa lapang, kesejukan mata, dan kelezatan ruhnya. Beliau sallallahu alaihi wasallam berada di atas puncak kesempurnaan sifat lapang dada, ketinggian nama, pelepasan beban dosa. Adapun bagian umatnya dari hal-hal itu sesuai dengan sikap mereka dalam mengikuti beliau sallallahu alaihi wasallam. Wallahu a’alm.
Demikian pula bagian para pengikut beliau sallallahu alaihi wasallam dari pemeliharaan Allah subhanahu wata’ala, perlindungan-Nya, pembelaan-Nya, dan penggolongannya untuk mereka, sesuai dengan sikap mereka dalam mengikuti Nabi sallallahu alaihi wasallam. Ada yang mengambil bagian sedikit, dan ada pula yang mengambil bagian yang banyak. Barangsiapa mendapatkan kebaikan, hendaknya memuji Allah. Dan barangsiapa mendaptkan selain itu, janganlah mencela selain dirinya sendiri.[3]
_____________________
Catatan kaki
[1] At Tirmidzi tidak meriwayatkan hadits ini seperti dikatakan penulis. Namun hadits ini diriwayatkan Ath-Thabari, 8/27 dari hadits Ibnu Mas’ud. Disebutkan juga oleh As-Suyuthi dalam kitab Ad-Durr Al-Mantsur, 3/44, dan beliau menambah penisbatan kepada Ibnu Abi Syaibah, Ibnu Abid Dunya, Abu Asy-Syaikh, Ibnu Mardawiyah, Al-Hakim dan Al-Baihaqi di kitab Asy-Syu’ab melalui beberapa jalur. Al-Hafizh Ibnu Katsir berkata, 2/174 dan 175 setelah menyebutkannya dari Abdurrazaq, Ibnu Abi Hatim dan Ibnu Jarir: “Jalur-jalur periwayatan ini baik yang mursal maupun muttashil saling menguatkan satu sama lain.”
[2] HR Bukhari no. 3/241-242, dan HR Muslim no. 1021 dari hadits Abu Hurairah radiallahu anhu ia berkata, “Rasulullah sallallahu alaihi wasallam bersabda: “Perumpamaan orang bakhil dan berinfak sama seperti dua laki-laki yang mengenakan baju terbuat dari besi yang menutupi dada hingga ke leher mereka. Adapun yang berinfak, tidaklah ia berinfak melainkan baju itu meluas dan menutupi kulitnya hingga menutupi jari-jari tangannya dan menghapus jejak kakinya. Sedangkan si bakhil, setiap kali dia tidak mau menginfakkan sesuatu, maka menempel setiap mata rantai baju itu di tempatnya, dia berusaha meluaskannya namun tidak mau menjadi luas.”
Al-Khathabi berkata: “ini adalah perumpamaan yang disebutkan oleh Nabi sallallahu alaihi wasallam bagi bakhil dan yang bersedekah. Beliau sallallahu alaihi wasallam menyerupakan keduanya dengan dua laki-laki yang masing-masing ingin memakai baju besi untuk menutupi dirinya dari senjata musuh. Lalu baju besi itu dimasukkan dari kepala. Dan baju besi pertama kali dipakai berada di dada hingga leher sampai seseorang berhasil mengeluarkan tangannya dari lengannya. Maka orang yang berinfak sama seperti memakai baju besi yang luas. Baju itu mampu menutupi semua badannya. Sedangkan si bakhil seperti orang yang terbelenggu kedua tangannya ke lehernya. Setiap kali ia hendak memakai baju itu, tangannya semakin terjepit ke lehernya dan mencekik tenggorokannya. Maksudnya, orang yang dermawan jika ingin bersedekah maka hatinya menjadi luas dan jiwanya menjadi baik, sehingga mudah mengeluarkan sedekah. Sedangkan orang bakhil jika diceritakan tentang sedekah, maka ia menjadi kikir sehingga hatinya menyempuit dan tangannya terkungkung.”
[3] Kutipan dari hadits qudsi yang panjang diriwayatkan dalam Shahih Muslim no. 2577, dari hadits Abu Dzar radiallahu anhu, dan di dalamnya disebutkan: “Wahai hamba-hamba-Ku, sesungguhnya ia hanyalah amal-amal kamu. Aku mengumpulkannya untuk kamu , kemjudian Aku membalas kamu atasnya, barangsiapa mendapatkan kebaikan, hendaklah memuji Allah, dan barangsiapa mendapatkan selain itu, maka janganlah mencela selain dirinya sendiri.” Di antara keunikan hadits ini bahwa Imam An-Nawawi menyebutkan di akhir kitabnya Al-Adzkar dengan sanadnya hingga Abu Dzar. Dia berkata ini adalah hadits shahih kami temukan dalam Shahih Muslim dan selainnya. Para perawinya dari aku hingga Abu Dzar radiallahu anhu semuanya berasal dari Damaskus. Imam Ahmad bin Hambal berkata: “Tidak ada bagi penduduk Syam hadits yang lebih mulia daripada hadits ini. Dan konon Abu Idris Al-Khaulani (perawi hadits itu dari Abu Dzar) bila menceritakan hadits tersebut maka ia berlutut dengan kedua lututnya.”
***Disalin dari terjemahan kitab Zadul Ma’ad jilid 2 karya Al-Imam Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah, muhaqqiq: Abdul Qadir Al-Arna’uth dan Syubaib Al-Arna’uth, penerbit Griya Ilmu.

Free Template Blogger collection template Hot Deals BERITA_wongANteng SEO theproperty-developer

Seputar Gugat Cerai (al-Khulu’)

Sakinah, mawaddah dan kasih sayang adalah asas dan tujuan disyariatkannya pernikahan dan pembentukan rumah tangga. Sebagaimana dijelaskan dalam firman Allah:

“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang.Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir. ” (Qs. Ar-Rum 30:21)

Namun kenyataannya banyak terjadi dalam keluarga masalah-masalah yang mendorong seorang istri melakukan gugat cerai dengan segala alas an. Hebatnya lagi banyak yang ditayangkan dalam media elektronik maupun media masa sehingga diketahui khalayak ramai. Lebih ngeri lagi mereka tidak segan-segan membuka rahasia rumah tangga mereka hanya sekedar bias menang dan tampil sebagai pemenang. Fenomena ini mestinya harus dilihat lagi bagaimana islam memandangnya agar kita semua dapat berislam dengan kaafah.

Pengertian Gugat Cerai

Gugat cerai atau dalam bahasa Arabnya adalah al-Khulu’ (
الخُلْع). Kata ( الخُلْعُ) dengan didhommahkan huruf kho’nya dan disukunkan huruf lamnya berasal dari kata ( خُلْعُ الْثَوْبِ) yang bermakna melepas pakaian. Lalu digunakan untuk istilah wanita meminta kepada suaminya untuk melepasnya dari ikatan pernikahan yang dijelaskan Allah sebagai pakaian.

Allah berfirman:

“Mereka itu adalah pakaian, dan kamu pun adalah pakaian bagi mereka.” (Qs. Al-Baqarah 2:187)

Sedangkan dalam pengertian syari’at, para ulama mengungkapkannya dalam banyak definisi yang semuanya kembali kepada pengertian bahwa al-Khulu’ adalah terjadinya perpisahan (perceraian) antara sepasang suami istri dengan keridhoan dari keduanya dan dengan bayaran yang diserahkan istri kepada suaminya.(1) Sedangkan Syeikh al-Basâm menyatakan bahwa al-Khulu’ adalah perceraian suami istri dengan bayaran yang diambil suami dari istrinya atau selainnya dengan lafadz yang khusus. (2)

Hukum al-Khulu’

Al-Khulu’ disyariatkan dalam syari’at islam berdasarkan kepada firman Allah:

“Tidak halal bagi kamu mengambil kembali sesuatu dari yang telah kamu berikan kepada mereka, kecuali kalau keduanya kahwatir tidak akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. Jika kamu khawatir bahwa keduanya (suami-isteri) tidak dapat menjalankan hukum-hukum Allah, maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh isteri utuk menbus dirinya. Itulah hukum-hukum Allah, maka janganlah kamu melanggarnya. Barangsiapa yang melanggar hukum-hukum Allah mereka itulah orang-orang yang zalim.” (Qs. Al-Baqarah 2:229)

Dan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits Ibnu Abas radhiallahu ‘anhuma:

جَاءَتْ امْرَأَةُ ثَابِتِ بْنِ قَيْسِ بْنِ شَمَّاسٍ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَتْ يَا رَسُولَ اللَّهِ مَا أَنْقِمُ عَلَى ثَابِتٍ فِي دِينٍ وَلَا خُلُقٍ إِلَّا أَنِّي أَخَافُ الْكُفْرَ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَتَرُدِّينَ عَلَيْهِ حَدِيقَتَهُ فَقَالَتْ نَعَمْ فَرَدَّتْ عَلَيْهِ وَأَمَرَهُ فَفَارَقَهَا

“Datang istri Tsâbit bin Qais bin Syammâs kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu berkata: Wahai Rasulullah aku tidak membenci Tsâbit dalam agama dan akhlaknya. Aku hanya takut kufur. Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: Maukah kamu mengembalikan kepadanya kebunnya? Ia menjawab, Ya. Lalu ia mengembalikan kepadanya dan Rasulullah shallallahu a’laihi wa sallam memerintahkannya dan Tsâbitpun menceraikannya.” (HR al-Bukhari)

Demikian juga kaum muslimin telah berijma’ atas hal tersebut sebagaimana dinukilkan Ibnu Qudamah (3), Ibnu Taimiyah (4), al-Hâfizh Ibnu Hajar (5), al-Syaukani (6) dan Syeikh Abdullah al-Basam (7) . Muhammad bin Ali al-Syaukani menyatakan, para ulama berijma’ akan pensyariatannya kecuali seorang tabi’in bernama Bakr bin Abdillah al-Muzani…dan telah terjadi ijma’ setelah beliau tentang pensyariatannya. (8)

Ketentuan Hukum al-Khulu’ (9)

Berlaku bagi al-Khulu’ lima hukum taklifi dalam fikih yaitu:

1. Mubah (diperbolehkan)

Ketentuannya adalah sang wanita sudah benci tinggal bersama suaminya karena kebencian dan takut tidak dapat menunaikan hak suaminya tersebut dan tidak dapat menegakkan batasan-batasan Allah dalam ketaatan kepadanya, dengan dasar firman Allah:

“Jika kamu khawatir bahwa keduanya (suami-isteri) tidak dapat menjalankan hukum-hukum Allah, maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh isteri utuk menebus dirinya.” (Qs. Al-Baqarah 2:229)

Ibnu Hajar memberikan ketentuan dengan al-Khulu’ ini dengan menyatakan bahwa ia adalah seorang suami menceraikan istrinya dengan penyerahan pembayaran ganti kepada suami. Ini dilarang kecuali dalam keadaan khawatir keduanya atau salah satunya tidak dapat melaksanakan yang diperintahkan Allah. Hal ini bisa muncul dari ketidak sukaan dalam pergaulan rumah tangga, bisa jadi karena jeleknya akhlak atau bentuk jasmaninya. Demikian juga hilang larangan ini apabila keduanya membutuhkan karena khawatir dosa yang menyebabkan al-Bainunah al-Kubra (perceraian besar atau talak tiga). (10)

Syeikh al-Basâm menyatakan bahwa diperbolehkan al-Khulu’ (gugat cerai) bagi wanita apabila sang istri membenci akhlak suaminya atau khawatir dosa karena tidak dapat menunaikan haknya. Apabila sang suami mencintainya, maka disunnahkan sang istri sabar dan tidak memilih perceraian. (11)

2. Diharamkan khulu’

Hal ini ada dua keadaan:

a. Dari sisi suami

Apabila suami menyusahkan sang istri dan memboikotnya atau tidak memberikan hak-haknya dengan sengaja dan sejenisnya agar sang istri membayar kepadanya tebusan dengan jalan gugat cerai. Al-Khulu’nya batil dan tebusannya dikembalikan kepada wanita dan status wanita tetap seperti asalnya, apabila khulu’ tidak dengan lafazh talak. Karena Allah berfirman:

“Janganlah kamu menyusahkan mereka karena hendak mengambil kembali sebagian dari apa yang telah kamu berikan kepadanya, terkecuali bila mereka melakukan pekerjaan keji yang nyata.” (QS. An-Nisaa’:19) (12)

Apabila Suami menceraikannya maka ia tidak memiliki hak mengambil tebusan tersebut. Namun bila istri berzina lalu suami membuatnya susah agar istri tersebut membayar tebusan dengan al-Khulu’ maka diperbolehkan berdasarkan ayat diatas. (13)

b. Dari sisi istri.

Apabila meminta cerai padahal hubungan rumah tangganya baik dan tidak terjadi perselisihan dan pertengkaran diantara pasangan suami istri serta tidak ada alasan syar’i yang membenarkan adanya khulu’, berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam:

أَيُّمَا امْرَأَةٍ سَأَلَتْ زَوْجَهَا طَلَاقًا فِي غَيْرِ مَا بَأْسٍ فَحَرَامٌ عَلَيْهَا رَائِحَةُ الْجَنَّةِ

“Semua wanita yang minta cerai (gugat cerai) kepada suaminya tanpa alas an, maka haram baginya wangi syurga.” (HR. Abu Daud, al-Tirmidzi, Ibnu Majah dan Ahmad dan dishahihkan al-Albani dalam kitab Irwa’ al-Ghalil no. 2035). (14)

3. Mustahabbah (sunnah) wanita minta cerai (al-Khulu’)

Apabila suami meremehkan (Mufarrith) hak-hak Allah maka sang istri disunnahkan al-Khulu’ menurut madzhab Ahmad bin Hambal. (15)

4. Wajib

Terkadang al-Khulu’ menjadi wajib hukumnya pada sebagian keadaan seperti orang yang tidak pernah melakukan sholat, padahal telah diingatkan. Demikianlah juga pada masalah, seandainya sang suami memiliki keyakinan atau perbuatan yang dapat mengeluarkannya dari islam dan menjadikannya murtad. Sang wanita tidak mampu membuktikannya dihadapan hakim peradilan untuk dihukumi berpisah atau mampu membuktikannya, namun hakim peradilan tidak menghukuminya murtad dan tidak juga kewajiban berpisah. Maka wajib bagi wanita tersebut dalam keadaan seperti ini untuk meminta dari suaminya tersebut khulu’ walaupun harus menyerahkan harta. Karena tidak patut seorang muslimah menjadi istri orang yang memiliki keyakinan dan perbuatan kufur. (16)

Wallahu A’lam.

Maraji’

1. Nail al-Author Min Ahâdits Sayyid al-Akhyâr Syarh Muntaqâ al-Akhbâr, Muhammad bin Ali al-Syaukani, tahqiq Muhammad Saalim Haasyim, cetakan pertama tahun 1415 H, Dar al-Kutub al-’Ilmiyah, Bairut
2. Taudhih al-Ahkâm Min Bulugh al-Marâm, Syeikh Abdullah bin Abdurrahman al-Basâm, cetakan kelima tahun 1423H, Maktabah al-Asadi, Makkah
3. Shohih Fikih Sunnah
4. Jâmi’ Ahkâm an-Nisâ, Mushthofa al-’Adawi, cetakan pertama tahun 1419 H, Dar Ibnu ‘Affân , kairo.
5. Majmu’ Fatawa
6. fat-hul Bari

Penulis: Ustadz Kholid Syamhudi, Lc.

Artikel: EkonomiSyariat.Com

Footnotes:

(1) Shahih Fikih Sunnah 3/340
(2) Taudhih al-Ahkâm Min Bulugh al-Marâm, Syeikh Abdullah bin Abdurrahman al-Basâm, cetakan kelima tahun 1423H, Maktabah al-Asadi, Makkah 5/468
(3) al-Mughni 7/51
(4) Majmu’ al-fatawa 32/282
(5) Fat-hul Bari 9/315
(6) Nail al-Author Min Ahadits Sayyid al-Akhyaar Syarh Muntaqaa al-Akhbaar, Muhammad bin Ali al-Syaukani, tahqiq Muhammad Saalim Haasyim, cetakan pertama tahun 1415 H, Dar al-Kutub al-’Ilmiyah, Bairut 6/260
(7) Taudhih al-Ahkaam 5/468
(8) Nail al-Authar 6/260
(9) Diambil dari Taudhih al-Ahkaam 5/469, shahih Fikih Sunnah 3/341-343 dan Jaami’ ahkam al-Nisaa 4/153-154 dengan penambahan dari beberapa referensi.
(10) Fat-hul Bari 9/
(11) Taudhih al-Ahkâm 5/469
(12) Taudhih al-Ahkâm 5/469
(13) Shahih Fikih Sunnah 3/343
(14) Shahih Fikih Sunnah 3/342
(15) Ibid
(16) Shahih Fikih Sunnah 3/343



Free Template Blogger collection template Hot Deals BERITA_wongANteng SEO theproperty-developer

Lemahnya iman ini


Ketika waktu shubuh telah tiba.....dulu perasaan senang menyambutnya bagaikan akan bertemu sesorang yang begitu lama tidak jumpa, tapi sekarang....iman ini semakin melemah, bagai daun yang setiap hari makin layu...begitpula hati ini....perasaan senang itu semakin sirna, aku berdoa kepada Allah agar mengembalikan perasaanku itu seperti awal2 aku mengenal manhaj yang mulia ini, yaitu manhaj salaf.

Free Template Blogger collection template Hot Deals BERITA_wongANteng SEO theproperty-developer

Template Copy by Blogger Templates | BERITA_wongANteng |MASTER SEO |FREE BLOG TEMPLATES